YOGYAKARTA – Rapat Paripurna (Rapur) pengesahan Rancangan Kebijakan Ummum Perubahan Anggaran Plafon Prioritas Angggaran Sementara (KUPA-PPAS) perubahan Anggran Pendapatan Daerah (APBD) tahun 2018 Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta, Jumat (31/08/2018) kemarin berlangsung cukup alot. Keputusan dianggarkannya ganti rugi Pemkot Yogyakarta kepada PT. Perwita Karya sebesar Rp 56 Miliar terkait kasus sengketa terminal Giwangan, diambil setelah dilakukan voting.
Dalam Rapur tersebut, dari 40 anggota DPRD Kota Yogyakarta yang menggunakan hak pilih sebanyak 26 orang. Dari yang hadir tersebut, 3 orang menolak, 1 orang menyatakan abstain dan 22 orang menyatakan setuju.
Tiga orang yang menolak adalah Antonius Fokki Ardiyanto, Danang Rudyatmoko, dan Suryani. Ketiganya dari Fraksi PDIP. Sementara satu orang anggota yang menyatakan abstain adalah Alb. Y Sudharma juga berasal dari Fraksi PDIP.
Fokki Ardiyanto mengatakan keputusannya menolak didasari atas beberapa hal terkait kasus PT. Perwita Karya. Diantaranya, kata dia, tidak ada perintah dari risalah keputusan Peninjauan Kembali Mahkamah Aagung (PK-MA) yang mengharuskan ganti rugi dibayar oleh APBD Kota Yogyakarta.
Menurut Fokki, awal mula kasus sengketa terminal Giwangan adalah diputusnya kontrak PT Perwita Karya oleh Pemkot tanpa persetujuan DPRD, padahal diawal pembangunan dan kerja sama atas persetujuan DPRD. Kemudian, kata dia, tidak adanya jaminan ketika dianggarkan sertifikat Hak Guna Bangunan(HGB) diatas Hak Pengelolaan Lahan(HPL) yang digadaikan ke BNI kembali ke Pemkot,
“Sebagaimana diketahui dlm proses pembangunan terminal giwangan, PT Perwita Karya menggadaikan sertifikat tersebut ke BNI atas persetujuan walikota waktu itu,” ungkapnya.
Fokki menandaskan, tidak adanya putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memaksa diambil kebijakan agar dianggarkan dalam APBD untuk membayar keputusan hukum dari MA,
“Beberapa hal tersebut yang mendasari sikap politik kami untuk melindungi uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk mensejahterakan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik,” tukasnya.
Dijelaskan Fokki, sebagaimana diketahui, Pemkot Yogyakarta dalam pembangunan Terminal Giwangan awalnya melalui lelang investasi n atas persetujuan DPRD Kota Yogyakarta dan mempercayakan pada pihak ketiga, yaitu PT. Perwita Karya, dengan kompensasi pengelolaan selama 30 tahun sejak 2002.
Namun karena beberapa hal, maka pada 2009, Pemerintah Kota memutuskan untuk mengambil alih pengelolaan terminal dan memutus kontrak secara sepihak dari PT Perwita Karya tdk dengan persetujuan rapat paripurna DPRD seperti yang dilakukan diawal kerja sama.
Pemutusan kontrak tersebut diselesaikan di pengadilan dan Pemkot berkewajiban membayar ganti rugi sebesar Rp 56 miliar ke PT Perwita Karya,
“Pengganti rugian Pemerintah Kota Yogyakarta tersebut yang menjadi pertanyaan besar terkait komitmen Pemerintah Kota Yogyakarta dalam mensejahterakan dan memajukan kehidupan sosial ekonomi masyarakat,”tuntasnya. (kt1)
Redaktur: Faisal