FPPR Kembali Desak Pansus DPRD Sleman Rombak Draft Raperda yang Merugikan Pasar Rakyat

SLEMAN – Forum Peduli Pasar Rakyat (FPPR) kembali menggelar audiensi dengan Pansus I DPRD Sleman terkait Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) perijinan toko modern, Rabu (31/10/2018) siang di aula DPRD Kabupaten Sleman. FPPR mempertanyakan perkembangan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, khususnya para pedagang pasar di kabupaten Sleman, yang telah disampaikan pada tanggal 24 September 2018 yang lalu.

Pada saat itu FPPR mempertanyakan Naskah Akademis (NA) dan draft Raperda yang akan menggantikan Perda No 18 tahun 2012 tentang Perijinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern.

Koordinator FPPR,Agus Subagyo mengatakan, NA yang telah disusun dalam Raperda menunjukkan banyak kelemahan, sehingga FPPR menyatakan menolak,

“NA sangat lemah baik dari sisi substansi maupun metodologi sehingga tidak layak untuk dasar penyusunan Raperda perijinan pusat perbelanjaan dan toko swalayan,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Pansus.

Agus menyebut beberapa kelemahan dalam Raperda diantaranya karena tidak mengacu pada Perda tentang Tahapan Perizinan, seperti Analisis Dampak Lalu Lintas (Andalalin).Kemudian, kata dia, Raperda tidak mengatur kuota toko modern, tidak mempertimbangkan jam buka toko modern, tidak mengatur tentang produk yang dijual, sehingga tidak merugikan pedagang pasar dan pemilik toko kelontong.

Ia menekankan, Pemerintah Kabupaten Sleman semestinya menaati perintah konstitusi khususnya dalam sektor perdagangan agar memberikan peran lebih besar kepada pelaku ekonomi rakyat, termasuk kelembagaan, koperasi rakyat, pedagang pasar rakyat dan ritel lokal dalam struktur ekonomi khususnya di sektor perdagangan,

“Pengaturan menyangkut pelaku ekonomi ini harus didorong kepentingannya secara bersama-sama agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tidak dibolehkan yang satu lebih diuntungkan, sementara yang lain dirugikan kepentingannya. Kesan yang muncul dari rencana penyusunan Raperda justru untuk memberikan pembenaran akan kesalahan kebijakan yang telah disusun sebelumnya. Praktik perijinan yang menyalahi aturan sebelumnya seolah akan dirancang pembenarannya karena ketidakmampuan menegakkan peraturan,” beber Agus yang juga ketua Keluarga Besar Marhaen DIY.

Langkah-langkah konstruktif yang dapat ditempuh sesuai nilai-nilai keadilan ekonomi, menurut Agus  di antaranya adalah menangguhkan rencana perubahan Perda dengan melakukan kajian NA yang lebih komprehensif dan konstruktif. Kemudian, kata dia, menyusun Blue-print Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan yang berisi masterplan pengembangan pusat-pusat perbelanjaan yang disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah (RTRW), yang dijabarkan dalam Rencana Detil Tata Ruang melalui proses perencanaan yang partisipatif dan akuntabel,

“Dengan demikian bisa menjadi dasar bagi kebijakan menyangkut investasi para pelaku ekonomi di daerah maupun dari luar. Sebagai bentuk kebijakan yang adil, maka disusun pula Blue-print Pengembangan Pasar Rakyat (pasar tradisional) dan toko ritel lokal, agar mereka juga mendapatkan kepastian hukum dan peluang berusaha, sekaligus dalam membuka peluang pengembangan usahanya. Peran pemerintah yang secara konstitusional telah diamanatkan di pundaknya menjadi dasar bagi penyusunan master-plan ini,” usul Agus dalam rapat.

FPPR juga meminta Pansus memikirkan kembali bentuk pola Kemitraan antara Toko Modern dan pelaku ekonomi rakyat, misalnya dengan pola  kemitraan berbasis zonasi. Misalnya, kata Agus,  di jalan nasional, ditetapkan sebagai Zone Ekonomi Terpadu, yang memperbolehkan berdiri pusat perbelanjaan atau toko modern, sekaligus memberikan peluang kepada masyarakat untuk bisa mendapatkan akses berusaha dengan pendampingan dari pemerintah daerah.

Menanggapi masukan dari FPPR, pimpinan Pansus I, Arif Kurniawan mengatakan saat ini sudah berada dipenghujung waktu untuk pembahasan Pansus I . Menurutnya pembahasan Pansus cukup dinamis, termasuk ada masukan dari FPPR yang diakomodir,

“Jadi perubahan draft dari yang disampaikan saudara bupati kepada kami beberapa kali berubah. contoh yang substansial adalah terkait jarak toko swalayan dengan toko tradisional atau pasar rakyat itu awalnya kalau dulu 500 meter itu di kategori jalan Kabupaten, sekarang perkembangan terakhir kita diskusi dengan eksekutif itu jaraknya di angka 1 Km. itu salah satunya point yang kita sepakati di Pansus,” katanya.

Kemudian yang kedua, kata Arif, pola kemitraan dengan UMKM dengan toko swalayan nantinya ada beberapayang masuk dalam draft, kaitannya dengan pola pembayaran dimana jika dalam Perda sebelumnya UMKM ketika menitipkan barang bisa dibayar setelah 1 bulan lebih, dalam draft raperda limitasinya hanya sampai dengan 15 hari,

“Termasuk terkait zona,kuota, juga sudah ada beberapa dinamika. Diskusi yang muncul di dalam pansus bahwa zonasi kemudiankuota itu kan nanti akan diatur secara rigid dalam draft kita ini. Sementara memang kemarin ada di pasal 14, 15, 16 itu ada beberapa pola yang dibuat dengan rasio 1 toko swalayan itu melayani warga masyarakat kurang lebih dengan jumlah 9000. Dan itu berkembang terus di diskusi-diskusi yang ada di Pansus,” ungkapnya.

“Kita masih ada waktu memang untuk menyampaikan masukan-masukan aspirasi kepada kami Pansus I, tentu nanti kita serahkan ke rapat paripurna,” imbuh Arif. (rd)

Redaktur: Ja’faruddin. AS

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com