SLEMAN – Forum Peduli Pasar Rakyat (FPPR) menyayangkan sikap DPRD dan Bupati Sleman terkait tetap dimuluskannya Raperda Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan Sleman. Pada 12 Desember 2018 yang lalu, Raperda tersebut disahkan dan telah melalui tahapan fasilitasi dan evaluasi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
“Banyak kelemahan didalam muatan substansial isi Raperda tersebut disamping juga naskah akademiknya.Dalam bentuk sudah jadipun, Raperda keredaksian maupun penulisan ada juga yang berbeda dengan ketika pembahasan di Pansus (Panitia Khusus),” kata Koordinator FPPR, Agus Subagyo kepada wartawan, Sabtu (19/01/2019).
Dikatakan Agus, dalam Raperda, banyak yang tidak dipahami tentang permasalahan keruangan jalan nasional dan sebagainya. Sehingga, kata dia, bisa menciptakan salah persepsi terhadap letak toko swalayan dalam satu kawasan,
“Sehingga itu mampu memunculkan kerancuan, pihak perijinan bekerja tidak selektif nantinya,” tandas Agus.
Dibeberkan Agus, contoh bagian-bagian Raperda yang direduksi oleh bupati dan DPRD diantaranya tentang pelanggaran atas perijinan usaha toko swalayan. Dalam pasal tersebut, kata Agus, disebutkan denda Rp 50.000.000 dan kurungan 3 bulan. Dengan demikian Raperda juga telah menabrak Undang – Undang Perdagangan,
“Senyatanya dalam Undang-Undang Perdagangan pada substansinya adalah kurungan mencapai 4 tahun dan denda 10 miliar rupiah. Nah, bisa-bisa atas persepsi ini akan banyak terjadi banyaknya pelanggaran karena murahnya denda dan kecilnya kurungan. Bila melanggar buka toko tanpa ijin. Inilah reduksi Undang-Undang yang dilakukan dalam penyusunan Raperda di sleman pada pasal-pasalnya atau substansinya,” tukasnya.
Agus juga menggaris bawahi bahwa adanya bias pengawasan Gubernur dalam pembagian kewenangan dalam otonomi daerah, menyebabkan gubernur tidak mampu melihat kebijakan di Kabupaten yang menciptakan kemiskinan,
Dalam kasus kabupaten Sleman, imbuh Agus, tidak terjadi konsistensi antara RPJM dengan pelaksanaan program berikutnya,
“Bahwa salah satu yang membuat kemiskinan adalah mall, dan toko modern berjejaring. Realitasnya, bahwa regulasi yang disusun untuk menata masyarakat dibalik dan digunakan untuk menghisap rakyat atas tekanan kapitalisasi nasional bahkan global. Penciptaan kemiskinan jelas berasal dari regulasi yang disusun oleh kekuasaan Pemda sleman yaitu Bupati dan DPRD nya, demikiankah demokrasi yang sekarang?” tanya Agus.
Dalam waktu dekat, Agus bersama FPPR akan menghadap gubernur atau Ketua Parampara Praja untuk mendiskusikan permasalahan terkait keadilan sosial ekonomi, paska disahkannya Raperda Perijinan Pusat Perbelanjaan dan Toko Swalayan oleh Pemerintah Kabupaten dan DPRD Sleman,
“Raperda yang semestinya menjadi sarana bagi strategi perlindungan dan pengembangan ekonomi khususnya usaha wong cilik, justru sebaliknya hanya diperuntukkan untuk yang Besar-Besar. Harapannya nanti ada kebijakan dari Gubernur,” pungkas Agus. (rd)
Redaktur: Faisal