Hari Buruh, Jampi Tuntut Pengakuan dan Perlindungan Pekerja Informal

YOGYAKARTA – Aktivis buruh di Yogyakarta yang tergabung dalam Jaringan Advokasi Melindungi Pekerja Informal (Jampi) menggelar acara memperingati hari buruh sedunia Rabu (01/05/2019), di halaman Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Jl. Puntadewo DK VII No. 1 Jomegatan RT. 11, Ngestiharjo, Jomegatan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.

Koordinator Jampi, Warisah mengungkapkan, peringatan hari buruh kali ini mengambil tema “Pengakuan dan Perlindungan Bagi Pekerja Informal”. Menurutnya,  masih banyaknya pekerja informal khususnya pekerja informal wanita membuktikan bahwa pemerintah belum menyediakan lapangan kerja bagi warga negaranya. Namun di sisi lain sektor pekerja informal, mampu menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah dan tanpa keterampilan tinggi,

“Tetapi jelas sektor informal mengisi seluruh sudut perekonomian nasional, setidaknya dua pertiga dari perekonomian nasional,” katanya dalam keterangan pers yang diterima redaksi.

Menurutnya sekira 74 persen pekerja rumahan tidak pernah sekolah , tidak selesai Sekolah Dasar (SD), hanya tamat SD dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dari 6000 orang perempuan pekerja rumahan hanya 2 persen kontrak tertulis dengan pemberi kerja, sedangkan 41, 8 persen sama sekali tidak memiliki kontrak kerja , sehingga hak-hak atas layak kerja tidak terpebuhi,

“Pekerja rumah tangga saat ini berjumlah lebih dari 10.7 juta dan tanpa perlindungan. Hal ini menyebabkan pekerja rumah tangga mengalami berbagai tindak kekerasan dan ekploitasi. Kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, dan kekerasan sosial. Tahun 2011 sampai 2012 ada sekitar 273 kasus dan dari tahun ke tahun terus meningkat,” ujarnya.

Belum adanya perlindungan terhadap pekerja rumahan tersebut menurut Warisah tidak sejalan dengan komitmen pemerintah saat ini terhadap pencapaian pembangunan berkelanjutan dengan perinsip “tidak ada satu orangpun ditinggalkan”.

Pekerja informal seperti pekerja rumahan, buruh gendong, dan pekerja rumah tangga juga tidak banyak diakui oleh pemerintah dan kondisi kerja jauh dari layak,

“Sampai saat ini belum juga diratifikasinya Konvensi ILO tentang kerja layak bagi pekerja informal No 189 kerja layak bagi PRT dan No. 177 kerja layak bagi pekerja rumahan, sehingga belum ada kebijakan yang melindungi,” ujarnya.

Pekerjaan tersebut juga belum banyak dikenal masyarakat karena belum masuk dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang tenaga kerja. Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang diajukan sejak 2004 hingga saat ini belum disahkan,

“Oleh karena itu perlunya untuk memberikan payung hukum perlindungan bagi pekerja informal, dan perlu kiranya diatur dalam kebijakan pemerintah, baik ditingkat nasional maupun daerah, khususnya sesuai dengan kewenangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),” imbuhnya.

Warisah menyampaikan, pada momentum May Day (Hari Buruh), Jampi menyampaikan 18 tuntutan kepada Pemerintah DIY dan Pemerintah pusat. Diantaranya ditetapkannya Perda Perlindungan Pekerja Informal di DIY, diterbitkannya Pergub  Perlindungan Pekerja Rumahan, Tunjangan Hari Tua untuk pekerja informal, premi ditanggung negara (PBI untuk BPJS Ketenagakerjaan), dan tuntutan yang pada intinya melindungi dan mensejahterakan pekerja rumahan dan pekerja informal.

Dalam kegiatan peringatan Hari Buruh, para penggiat Jampi melaksanakan berbagai kegiatan. Antara lain, pawai dan panggung budaya, penyampaian pidato dukungan, doa bersama, praktik kerja langsung, pameran produk kampanye, dan bazaar hasil produksi pekerja informal, serta ada posko pengaduan dari sekolah paralegal. (kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com