Oleh: Zaki Abdurrahman*
Merujuk data QS World University Rankings (QS WUR) untuk tahun 2020, seanyak 9 Perguruan Tinggi (PT) Indonesia masuk dalam daftar peringkat 1000 PT terbaik di dunia. Daftar berturut-turut menurut peringkat dari top 1000 PT di dunia yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Airlangga (UNAIR), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Bina Nusantara (BINUS), Universitas Diponegoro (UNDIP), dan Institut Teknologi Sepuluh November (ITS). UI menempati peringkat 296 sebagai PT terbaik Indonesia yang berada di QS WUR, disusul oleh UGM pada peringkat 320 dan ITB peringkat 331.
Terdapat 6 indikator penilaian sebagai acuan untuk menentukan peringkat setiap PT yang masuk dalam daftar Top World University. Dari 6 indikator tersebut, presentase terbesar sebanyak 40% didapat dari nilai Academic Reputation atau Reputasi Akademik. Lebih dari 94.000 ahli di tingkat PT memberikan pendapat terkait kualitas pendidikan dan penelitian di PT yang ada di dunia. Berada di Amerika Serikat, Massachusetts Institue of Technology (MIT) menempati posisi pertama dalam urutan QS WUR. Berdiri pada tahun1861 dari sebuah komuitas kecil untuk menjawab tantangan zaman yang ada di dunia. Sekiranya bangsa ini tidak melupakan sejarah dan sudah diingatkan oleh Soekarno lewat klise Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), maka Indonesia bisa menunjukkan kualitas pendidikannya kepada dunia lebih dari sekarang.
Pada pertengahan abad 20, Khi Hadjar Dewantara telah meletakkan dasar-dasar pendidikan Indonesia yang dituliskan dalam bukunya pada bagian pendidikan. Sudah diingatkan oleh beliau, bahwa pendidikan bukan sekadar pengajaran. Pengajaran hanya sebuah transfer pengetahuan dari guru kepada anak didik. Pendidikan bisa dianggap sebagai alat untuk melewati jalan penuh rintangan dalam menemukan jati diri. Proses penemuan akan macet atau bahkan mampet jika kompenannya tidak berjalan semestinya. Pendidikan menurut Khi Hadjar Dewantara dikelompokkan dalam 3 kelembagaan (Keluarga, formal, dan lingkungan). Dari ketiga kelembagaan tersebut, paling berpengaruh pada tumbuh kembangnya seorang anak adalah kelembagaan keluarga sebagai pendidikan pertama yang membentuk karakter seseorang. Setelah mendapat pendidikan di level keluarga, seorang anak akan berlanjut ke lembaga pendidikan formal, dan akan berhadapan dengan realitas hidup sesungguhnya yaitu lingkungan.
Manusia sanggup menciptakan peradaban dengan daya imajinasi, cita-cita, dan kemauan bertindak atas apa yang diinginkan sehinga dia berbeda dengan mahluk hidup lainnya. Pendidikan membuat manusia menemukan kemerdekaannya, bukan memaksa ikan yang mahir berenang menjadi burung yang mahir terbang. Semboyan “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” bukan bentuk dari sebuah pengekangan, ia menjadi ciri khas dalam pendidikan Indonesia. Di depan memberi contoh, di tengah mendampingi, dan dibelakang mendorong, itulah hubungan yang dibangun antara pendidik dan anak didik dalam pendidikan Indonesia. Mengikuti kaidah dalam Islam yaitu syariat, hakikat, syafaat, dan makrifat, tingkat PT seharusnya sudah mencapai tingkat syafaat atau makrifat.
IPK ada pada tataran syariat sebagai alat untuk mengukur kemampuan akademis seseorang mahasiswa dalam menjalani proses perkuliahan. Nilainya dapat dilihat pada selembar ijazah dengan ukuran yang sudah pasti dengan kategori nilai A hingga E. Salah kaprah ketika IPK ditempatkan sebagai tujuan utama dari pendidikan khususnya pada level PT. Lebih penting dari IPK adalah bagaimana proses atau yang mendasari penilaian tersebut. Bukan menganggap remeh IPK, faktanya IPK masih dijadikan sebagai syarat administratif dalam mencari beasiswa dan pekerjaan. Besarnya IPK harus berbanding lurus dengan kemampuan merealisasikan teori-teori di bangku kuliah dalam memberi kontribusi bagi kehidupan bangsa.
Move on dari pola pendidikan yang mendewakan IPK bukan barang gampang untuk suatu kultur yang sudah berulang-ulang diyakini dalam tatanan sosial masyarakat. Perlu ada penyesuaian dan berpotensi ada penolakan dari sebagian elemen masyarakat. Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan keragaman dan potensi alam di dalamnya membutuhkan orang-orang yang mau dan konsisten memperjuangkan suatu hal termasuk dalam bidang pendidikan. Ada beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk mengembalikan marwah atau ruh dari pendidikan di Indonesia.
Pertama, membangun konektivitas jenjang pendidikan dari Taman Kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA) sebagai wadah menemukan bakat atau ketertarikan anak didik. Bukan malah memaksakan segudang pelajaran yang memberatkan peserta didik. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi kejadian “Salah masuk jurusan” saat masuk di sebuah PT.
Kedua, membangun hubungan kerjasama antara pendidik dan peserta didik. Pada tingkat PT, mahasiswa ataupun dosen berhak mengkritik atau mengoreksi satu sama lain. Jika dosen atau mahasiswa merasa suci tanpa dosa, atau dengan kata lain manusia kebal kritik, disitulah kegagalan pendidikan. Ada pihak yang merasa lebih diatas daripada pihak lain.
Ketiga, menghidupkan suasana pendidikan yang solutif dan aplikatif terhadap permasalahan yang ada dalam masyarakat. Harus ada ruang dialektika yang berjalan dengan syarat disuburkan nya imajinasi dan rasa ingin terhadap sesuatu yang baik. Habibie merakit pesawat atas imajinasinya tentang konektivitas ekonomi Indonesia. Facebook lahir dari satu keingin kecil untuk mempertemukan beberapa teman. Alibaba tumbuh besar setelah belasan tahun berdiri. Bahkan teori gravitasi oleh Isaac Newton berawal dari rasa ingin tahu soal apel yang jatuh.
Kempat, menerapkan konsep A (Academy) , B (Bussines), C (Community) , dan G (Goverment) sebagai suatu hubungan yang terkait dan satu kesatuan. Ada hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Terbangun atas semangat yang sama demi sila ke-5 pancasila
Melalui beberapa strategi diatas, harapannya pendidikan di Indonesia menghasilkan karakter yang kuat dan berani bersaing. Kuat atas dasar ilmu pengetahuan dan yakin karena daya dukung berbagai elemen yang terkait. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Fakultas Pertanian UGM, Kabid PTKP HMI Badko Jateng DIY