YOGYAKARTA – Dua hotel di Yogyakarta digugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), setelah memutus hubungan keja (PHK) pengurus dan anggota Federasi Serikat Pekerja Mandiri Indonesia (FSPMI). Kedua hotel tersebut yaitu Hotel Kristina dan Hotel Aya Artta yang berada di kompleks Malioboro.
Juru Bicara Tim Hukum FSPMI, Ahmad Mustaqim, SH, CPL mengatakan sidang gugatan PHK dan union busting atau pemberangusan hak-hak pekerja akan digelar di PHI selama dua hari berturut-turut.
Menurutnya, sidang hari ini, Rabu (18/09/2019) untuk klien atas nama Asrori yang di-PHK sepihak oleh Hotel Kristina Malioboro tanpa kompensasi meski berstatus karyawan tetap. Sedangkan Besok Kamis (19/09/2019) gugatan perselisihan hak untuk klien atas nama Frans Sukmaniara yang di-PHK sepihak Aya Artta. Frans merupakan Wakil Ketua Serikat Buruh Hotel tersebut,
“Ini ada unsur union busting adalah pemberangusan serikat pekerja dimana anggota kami (Frans Sukmaniara), selaku ketua dua (Wakil ketua) serikat pekerja diintimidasi oleh pihak perusahaan kemudian dilakukan pemecatan dengan alasan kontrak habis, padahal kontraknya belum habis,” kata Mustaqim usai sidang di PHI Yogyakarta, Rabu (18/09/2019).
Mustaqim menilai langkah yang dilakukan dua hotel di Kota Yogyakarta itu mengebiri hak konstitusional. Menurutnya, yang dilakukan kedua perusahaan tersebut sudah melanggar Undang – Undang (UU) nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU nomor 21 tahun 2000 pasal 43 jo 28,
“Ini hak konstitusional warga yang dilanggar, itu juga bertentangan dengan pasal 28 UUD 45 yang telah diamandemen, karena kebebasan berserikat sangat dilindungi oleh undang-undang dasar,” tandasnya
Selain menempuh jalur hukum melalui PHI, ia juga meminta Disnakertrans DIY untuk lebih intens mengawasi dan tegas untuk memberikan teguran kepada pengusaha atau perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan UU yang berlaku.
Sementara itu Asrori (48) menambahkan, ia sudah bekerja di Hotel Kristina selama hampir 23 tahun sejak berdiri 1996 silam. Ia yang terakhir bekerja di Front Office (FO) berstatus Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap. Namun dengan alasan kontrak sudah habis, sejak 31 Maret 2018 ia di-PHK tanpa pesangon,
“Ini sangat berpengaruh dengan ekonomi keluarga padahal saya tulang punggung keluarga. Bingung juga anak baru masuk SMA,” ujar Asrori yang juga anggota aktif FSPMI
Asrori mengaku tidak pernah melanggar aturan perusahaan. Juga selalu tepat waktu masuk dan pulang. Tapi secara sepihak dia tiba-tiba diberhentikan dari pekerjaannya. Bahkan tanpa surat peringatan sebelumnya. Juga tanpa pesangon. Alasan perusahaan karena kontraknya habis.
“Saya hanya minta hak-haknya saya dipenuhi sesuai UU Ketenagakerjaan,” tegas Asrori yang kini bekerja serabutan dan kerap menganggur.
Frans Sukmaniara yang di-PHK dari hotel Aya Artta sejak 12 Juni 2018 juga merasakan hal yang sama dengan Asrori. Ia mengatakan pemecatan atas dirinya lebih karena aktif sebagai wakil ketua serikat pekerja dan menuntut hak-hak anggotanya ke perusahaan. Di antaranya terkait status pegawai.
Selama sekitar setahun bekerja, dia mengaku belum menandatangani kontrak kerja apapun. Perusahaan pernah memberikan LoI (Latter of Intent), namun ia tak mau menandatangani, karena tidak mengikat dan tidak sesuai dengan UU Tenaga Kerja,
“Termasuk BPJS juga tidak didaftarkan,” ungkapnya.
Ketika hal itu disampaikan ke perusahaan, Frans mengaku malah mendapat intimidasi. Hingga akhirnya dipecat sepihak oleh perusahaan. Juga dengan alasan kontraknya habis.
Terkait hal itu, dia mengaku sebelumnya juga sudah melapor ke pengawas ketenagakerjaan Disnakertrans DIY. “Ada upaya union busting atau pemberangusan serikat pekerja,” tukasnya.
Ketika dimintai komentar terkait apa langkah perusahaan dalam menghadapi gugatan mantan karyawannya, pihak Hotel Kristina selaku tergugat yang diwakili Rudiatmoko (HRD) dan Fenny (Wakil Owner), engan berkomentar.
“Belum, belum ada,” katanya sambil berlalu usai persidangan.
Seusai sidang, belasan aktivis buruh dan pekerja dari FSPMI dan Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) sempat menggelar aksi mimbar bebas sebagai bentuk solidaritas dan dukungan kepada kedua sejawatnya yang di-PHK sepihak tanpa dipenuhi hak-haknya. Dalam aksinya mereka menyatakan menolak segala bentuk union busting dan pemberangusan hak-hak pekerja. (rd)
Redaktur: Ja’faruddin. AS