YOGYAKARTA – Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Yogyakarta menggelar kasus gugatan Union Busting atau pemberangusan hak berserikat bagi pekerja, Kamis (19/09/2019). Dalam sidang tersebut, selaku penggugat adalah Frans Sukmaniara (25) wakil ketua Serikat Pekerja Hotel Aya Artta Malioboro Yogyakarta, sedangkan tergugat adalah manajemen Hotel.
Penggugat yang juga merupakan pengurus Federasi Serikat Pekerja Mandiri Indonesia (FSPMI), merasa diintimidasi perusahaan karena memperjuangkan hak-hak karyawan hingga berujung PHK Sepihak,
“Kemarin saya banyak mendapat intimidasi yang berujung pemecetan (PHK) sepihan dari hotel Aya Artta Hotel Malioboro dikarenakan saya wakil ketua serikat pekerja. Kemudian saya juga sudah melapor ke dinas pengawas Disnakertrans DIY, untuk hal ini union busting. Cuman kasus sudah berkisar satu tahun lebih belum ada progress atau perkembangan,” kata Frans seusai menjalani sidang perdananya.
Frans mengungkapkan, ia di-PHK dari hotel Aya Artta sejak 12 Juni 2018. Selama sekira setahun bekerja, dia dan beberapa rekannya tidak mendapatkan hak-hak pekerja sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja,
“Hak-hak kami sebagai pekerja tidak diberikan,termasuk BPJS juga tidak didaftarkan,” ungkapnya.
Frans juga mengaku belum menandatangani kontrak kerja apapun. Perusahaan pernah memberikan Latter of Intent (LoI), namun ia tak mau menandatanganinya, karena dinilai tidak mengikat dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
“LoI itu saya juga tidak tanda tangan karena LoI itu tidak mewakili kontrak. Itu hanya selebaran berbahasa Inggris dan itu tidak mencangkup hak-hak dan kewajiban kita sebagai pekerja,” tukasnya.
Selaku wakil ketua Serikat Pekerja Hotel, ia kemudian menyampaikan hal itu ke pihak manajemen, namun justru mendapat intimidasi. Meski demikian, Frans tidak berhenti dan melaporkannya ke dinas pengawas pada Disnakertrans DIY,
“Laporan kemudian dilayangkan ke Dinas Pengawas. Namun kemudian setelah semua didaftarkan BPJS, saya langsung di PHK sepihak dengan alasan kontrak habis, padahal tak pernah saya tandatangani kontrak. Jelas ini ada unsur dugaan union busting,” tegasnya.
Ia berharap kepada unsurpekerja, pengusaha, maupun pemerintah ke depannya agar selalu mengedepankan UU sebagai dasar atau pedoman dalam membuat kebijakan agar tidak saling merugikan antara perusahaan dan pekerja.
Kepada para Hakim PHI, Frans berharap dapat memutus perkara dengan seadil-adilnya,
“Harapannya hakim mempertimbangkan gugatan kami dengan mengedepankan undang-undang ketenaga kerjaan sebagai dasar putusan,” harap Frans yang sejak di PHK bekerja serabutan dan lebih benyak menganggur ini.
Sementara itu, Kuasa hukum Frans sekaligus Juru Bicara Tim Hukum FSPMI, Ahmad Mustaqim, SH, CPL mengatakan tindakan pihak hotel Aya Artta terhadap kliennya tersebut sudah melanggar UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU nomor 21 tahun 2000 pasal 43 jo 28,
“Klien kami Frans adalah Wakil Ketua Serikat Pekerja hotel yang selama ini memperjuangkan hak-hak rekan-rekannya. Jadi ada unsure union busting, yaitu pemberangusan serikat pekerja. Itu juga bertentangan dengan pasal 28 UUD 45 yang telah diamandemen, karena kebebasan berserikat sangat dilindungi oleh undang-undang dasar,” tegasnya.
Menurutnya, selain Frans, kasus hampir serupa juga dialami anggota FSPMI lainnya yaitu Asrori yang di-PHK sepihak oleh Hotel Kristina Malioboro. Sidang perdana gugatan Asrori telah digelar Rabu (18/09/2019) kemarin,
“Klien kami Asrori di PHK dengan alasan habis masa kontraknya, padahal berstatus Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau karyawan tetap,” ujarnya.
Selain menempuh jalur hukum melalui PHI, pihaknya juga meminta Disnakertrans DIY untuk lebih intens mengawasi dan tegas untuk memberikan teguran kepada pengusaha atau perusahaan yang tidak melaksanakan ketentuan UU yang berlaku. (kt1)
Redaktur: Faisal.