YOGYAKARTA – Penangkapan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu, mendapat kecaman sejumlah aktivis di Yogyakarta. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta dengan sedikitnya 50 organisasi, komunitas dan lembaga masyarakat pendukung yang terhimpun dalam Jaringan Anti Teror Negara secara bersama-sama menyampaikan pernyataan sikapnya, Jumat (27/09/2019).
Ketua AJI Yogyakarta, Tommy Apriando mengatakan, penangkapan terhadap Dandhy Dwi Laksono dan Ananda Badudu menunjukkan negara gagal merawat demokrasi karena menyerang kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Tommy menjelaskan, Dandhy Dwi Laksono, pendiri Watchdoc Documentary dan pegiat HAM, ditangkap polisi di kediamannya pada Kamis malam (27/9/2019),
“Dandhy, yang juga pengurus AJI Indonesia, ditangkap karena tuduhan ujaran kebencian atas unggahannya di twitter pada 23 September lalu. Ia mengabarkan tentang penembakan yang terjadi di Jayapura dan Wamena,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Menurut kronologi unggahan YLBHI di twitter, Dandhy ditangkap pada pukul 23.45, sesaat sesudah ia masuk ke rumahnya. Penangkapannya disaksikan oleh dua orang satpam. Ia lantas dibawa ke Polda Metro Jaya dan dicecar oleh 14 pertanyaan dan 45 pertanyaan turunan.
“Kendati Dandhy dibolehkan pulang pada subuh tadi, tetapi status tersangkanya tak dicabut. Polisi kukuh menjerat Dandhy dengan Undang-Undang Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 28 Ayat 2 juncto pasal 45 Ayat 2 UU ITE. Polisi menuding Dandhy menyebarkan informasi yang dapat meimbulkan kebencian dan permusuhan berdasar SARA,” ungkapnya.
Subuh di hari yang sama, Ananda Badudu, mantan wartawan Tempo dan editor Vice, serta
anggota AJI Jakarta juga ditangkap polisi di tempat tinggalnya. Ananda dituduh mengumpulkan donasi dan mentransfernya untuk gerakan mahasiswa pada 23-24 September lalu.
Sebelum demonstrasi besar-besaran di DPR, Ananda berinisiatif menggalang dana dengan membuat dana crowfunding di kitabisa (dot) com,
“Kendati Ananda sudah dilepas pukul 10.30 WIB tadi, tetap saja penangkapan Ananda ini mencederai demokrasi,” tandasnya.
Dikatakan Tomm, situasi makin represif di tengah demonstrasi penolakan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bermasalah yang makin meluas. Korban meninggal dari peserta demonstrasi juga terus berjatuhan.
Setelah Randi, Mahasiswa Halu Oleo, Sulawesi Tenggara, tewas tertembus pelor pada Kamis (26/09/2019), subuh pagi tadi (27/09/2019), korban jatuh lagi. Yusuf Kardawi, mahasiswa Halu Oleo, Sulawesi Tenggara juga dilaporkan meninggal.
Atas represifitas aparat kepolisian tersebut, AJI Yogyakarta dan jaringan menyatakan sikap:
- Mendesak Polda Metro Jaya untuk mencabut status tersangka Dhandy Dwi Laksono.
- Mengecam keras penangkapan aktivis Dandhy Dwi Laksono dengan tuduhan UU ITE karena menunjukkan buruknya kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.
- Mengecam penangkapan jurnalis, pegiat HAM, dan musisi Ananda Badudu.
- Menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis dan pekerja kemanusiaan, pembela hukum/pengacara, aktivis pro demokrasi, warga sipil yang menjadi saksi berhak mendapat perlindungan dan tidak dikriminalisasi karena mengemukakan pendapatnya di ruang publik.
- Mendesak Polri, TNI menghentikan teror negara terhadap masyarakat sipil. Penangkapan secara sewenang-wenang oleh polisi bertolak belakang dengan pernyataan Presiden Joko Widodo tentang komitmennya dalam menjaga demokrasi.
- Demonstrasi bagian dari kebebasan masyarakat sipil yang dilindungi konstitusi sehingga negara seharusnya tidak melakulan berbagai tindakan represif.
- Mendesak Komnas HAM dan lembaga independen untuk mengusut dan menyelesaikan berbagai kekerasan yang menyebabkan terbunuhnya pelajar dan mahasiswa di sejumlah daerah. Mahasiswa yang meninggal yaitu LA Randi dan Yusuf. Pelajar yang tewas yakni Bagus Putra Mahendra.
- Mendesak elit politik untuk menghentikan tindakan yang memanfaatkan momentum gerakan sipil demi kepentingan ekonomi politik. (pr/kt1)
Redaktur: Faisal