Dedikasi Santri Untuk Kemajuan Negeri

Oleh: Wahyuni Tri Ernawati*

Sudah tidak asing lagi di pendengaran kita tentang hal ikhwal “santri” ditanah air tercinta. Sosok manusia yang mendamba curahan kasih sayang-Nya dan identik dengan kesederhaan ini, merupakan wujud penggambaran jiwa yang dikemas dengan dasar islam yang sarat akan filosofi budaya. Telah lama ada dan seakan menjadi identitas siapa itu Indonesia, mulai dari antero timur hingga barat daya menjadikan santri sebagai tiang-tiang penegak bangsa. Para hamba Allah yang menebar kebajikan tanpa mengharap imbalan. Itulah definisi santri berdedikasi yang sesungguhya.

Beriringan dengan Hari Santri yang jatuh tepat pada tanggal 22 Oktober nanti, semakin menggemakan semangat solidaritas dan kekeluargaan antar santri/santriwati yang tersebar di seluruh penjuru nusantara maupun dunia pada umumnya. Santri sebagai kader Islam berfungsi sebagai penyeimbang dan pereduksi ketegangan ditengah-tengah kalutnya suasana, karena pada hakikatnya salah satu tujuan santri adalah untuk mewujudkan perdamaian dunia. Melalui karya dan dedikasinya, mereka menyumbangkan perspektif-perspektif baru yang sebelumnya belum ada guna memenuhi kaum idealis yang haus akan keimanan.

Biasa dengan asam pahitnya kehidupan pesantren dan kemandirian membuat karakter mereka tercetak dengan sempurna. Laiknya pahlawan yang tengah gagah berjuang di medan pertempuran, para santri menggunakan logika berdasarkan dalil al-Qur’an dan sunnah-Nya untuk menampik paham negatif yang menyesatkan. Inilah salah satu peran santri dalam menyaring hal-hal yang jauh dari syariat islam. Dengan begitu, maka terciptalah kesinambungan di berbagai pihak baik Indonesia maupun dunia.

Tidak seperti sedia kala, santri pada era sekarang dapat dikatakan sebagai santri milenial yang bertransformasi sesuai perkembangan zaman. Yang awalnya hanya fokus mengkaji tentang ilmu-ilmu agama, kini semua disiplin ilmu dipelajari. Hal tersebut, dilakukan agar mereka tidak menjadi kaum tertinggal dan buta akan teknologi. Padahal dengan hadirnya para santri, diharapkan dapat membawa perubahan bagi nasib bangsa, menuju Indonesia Emas pada tahun 1945. Sebab para santri merupakan manusia yang senantiasa merefleksikan sifat-sifat penuh hikmah seperti semangat berkorban, mandiri, bersahaja, tawaduk dan moderat. Dimana semua sifat tersebut adalah aplikasi dari dasar Negara Indonesia yakni pancasila.

Disadari atau tidak, diera digitalisasi media sosial sangat berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari. Pun dengan sistematika dakwah dan kehidupan pesantren. Oleh sebab itu, perlu adanya perombakan dalam kurikulum pesantren dengan mnyertakan pelajaran yang berbasis teknologi informasi. Sehingga dengan memaksimalkan sumber daya manusia (baca;santri) akan meningkatkan taraf kemajuan bangsa. Apabila dimanfaatkan dengan baik, pasti akan memberikan dampak yang baik pula.

Secara harfiah, santri tidak hanya dapat dimaknai dengan sekumpulan orang yang secara formal belajar agama di pondok pesantren, tapi santri telah mengalami perluasan definisi sebagai sifat yang melekat pada siapapun yang mengamalkan tradisi santri tersebut. Tantangan globalisasi terutama di Indonesia seperti ketidakadilan ekonomi, terorisme, konflik etnis dll yang semakin kompleks membuat nilai-nilai santri menjadi relevan untuk dikembangkan. Tuntutan tersebut seolah-olah menjawab bagaimana masalah bisa terselesaikan.

Pada masa penjajahan, santri berperan besar terhadap teraihnya kemerdekaan. Mereka membuktikan dirinya sebagai kekuatan utama dalam mengusir penjajah. Misal, Ir. Soekarno adalah murid dari Cokroaminoto, pendiri Sarekat Islam (SI) dan Moh. Hatta yang merupakan murid dari Muhammad Djamil, tokoh agama terkemuka di Bukittinggi. Hal ini semakin menguatkan paradigma bahwa santri mempunyai peran penting dalam kemajuan Indonesia. Selain itu, karakter santri yang moderat dan tawadu’ termanifestasikan dalam sikap tokoh-tokoh patriotisme bangsa seperti saat pengubahan sila pertama dalam pancasila.

Pada masa Orde Baru, meskipun santri mendapat tekanan represif dari rezim pemerintah, para santri tetap membuktikan keeksistensiannya. Hefner (2000) menyimpulkan bahwa berkembangnya Civil Islam itu dimotori oleh kaum santri. Hal ini ditandai dengan hadirnya kalangan santri dalam birokrasi dan perpolitikan. Terlebih dewasa ini, gerakan santrinisasi semakin mengudara. Karena modal social santri sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang krusial.

Sikap otoritarisme berbanding terbalik dengan sifat egaliter dan demokratis santri, ketidakadilan ekonomi dapat diatasi dengan sikap santri yang tawadu’ nan bersahaja, terrorisme dapat dicegah dengan sikap moderat santri. Tentu dalam penyelesaiannya harus dilandasi dengan dasar-dasar keislaman agar dapat berjalan dengan lancar. Lahirnya santri yang bertransformasi mengindikasikan bahwa keintelegensia dan dedikasi santri perlu diapresiasi dan dikembangkan. Keduanya harus saling melengkapi dan bersinergi dalam penguatan karakter bangsa dan penegak panji islam untuk Indonesia yang lebih maju.(*)

*Penulis adalah Aktivis HMI dan mahasiswi fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com