Tata Ruang Pemerintah Belum Memikirkan Kebutuhan Rumah untuk Rakyat

YOGYAKARTA – Memperingati HUT  ke XX Keluarga Besar Marhaenis (KBM) yang diperingati setiap tanggal 1 Januari,  Dewan Pimpinan Propinsi KBM Daerah Istimewa Yogyakarta (DPP KBM DIY), menggelar Tumpengan dan Sarasehan, Minggu (05/01/2020).

Acara yang dihelat di sekretariat DPP KBM DIY, Jl. Nitipuran, Kadipiro, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul tersebut menghadirkan pemateri tunggal, Pakar Teknik Arsitektur dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (FT UGM), Ir. Gunung Radjiman MSc.

Dalam kesempatan tersebut Gunung menyampaikan tema Rencana Tata Ruang Wilayah yang terkait dengan hak milik atas tanah bagi Rakyat.

Menurutnya, Rakyat selama ini hanya sebagai obyek dan menerima dampak buruk dari hasil pembangunan wilayah dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Ia menekankan bhw RTRW hanyalah rencana baku yang digunakan untuk sebuah pembangunan, namun tidak merencanakan ruang-ruang wilayah untuk kebutuhan dasar  rakyat, misalnya papan atau rumah.

Hal itu, kata Gunung, berbeda negara tetangga Malaysia, dimana rakyatnya dalam kebutuhan dasar papan sudah disediakan pemerintah meskipun pemerintah menyediakan rumah yang bersusun,

“Intinya rumah atau papan adalah tanggung jawab pemerintah . Semua orang wajib memperoleh rumah atau papan. Memang di negara kita pemerintah belum terlalu memperhatikan kebutuhan dasar papan bagi rakyatnya. Padahal amanat ada dalam Pembukaan UUD 1945,” ungkapnya sebagaimana dikutip dalam keterangan pers DPP KBM DIY yang diterima redaksi, Minggu (01/05/2019)

Gunung menjelaskan, RTRW itu sekadar rencana yang digunakan sektor terkait untuk alih-alih pembangunan. Tidak ada konsepsi dalam RTRW itu berpikir rakyat harus punya tanah atau tidak. Baik tanah untuk papan, untuk usaha, maupun untuk yang lain.

Di Yogyakarta sendiri, kata Gunung, harga tanah sudah membumbung tinggi, yang tidak mungkin terjangkau rakyat miskin,

“Tanah sudah menjadi komoditas ekonomi, dalam fungsinya, tidak ada lagi fungsi sosial. Tidaklah mungkin rakyat  miskin mampu mengakses perihal tanah jika state (pemerintah) tidak turun melindungi,” ujarnya.

Ironisnya lagi soal tanah, kata dia, ruang yang memiliki kandungan tambangpun tidak dimiliki oleh rakyat, namun dikuasai oleh kaum kapital besar, bahkan pemodal  asing. Contoh yang memilukan adalah bagaimana bisnis orang asing bisa explorasi air dan dijual dihadapan pemilik wilayah yang dieksploitasi,

“Lihat saja banyak minuman air putih (mineral) yang dikemas bagus itu. Mereka bisa begitu karena juga diberi ijin oleh pemerintah. Ini bisa disebut penjajahan atau tidak silakan dipahami,” tukasnya.

“Untuk itu Kawan-Kawan KBM harus peduli dan bereaksi atas fakta kejadian ini,” tutupnya.

Sementara itu, ketua DPP KBM DIY, Agus Subagyo dalam sambutannya mendesak pemerintah kabupaten dan kota di DIY untuk paham dengan keadaan-keadaan kemiskinan rakyatnya. Ia mencontohkan, ada yang punya tanah sedikit, yaitu kaum tani diberikan beban atas tanahnya sebesar mungkin,

“Jangan suka membangun tapi ujungnya memeras rakyat. Bahkan lahan 200 meter berupa sawah saja masih harus dibebani, diperas dengan pajak sawah yang besarnya sama dengan pajak toko swalayan di sebelahnya yang jelas-jelas menghisap rakyat kecil,” ujar Agus.

Menurutnya Kabupaten dan Kota se DIY selalu beralasan bahwa jika pajak sawah dihapus yang seneng Tuan tanah,

“Masa sih? Perda kan diatur batas milik sawah yang dibebaskan,” tandasnya.

Seusai sarasehan, acara dilanjutkan dengan potong tumpeng ulang tahun KBM ke XX. Tumpeng dipotong oleh Gunung Radjiman, kemudian dibagikan kepada orang-orang muda yang bergiat di GMNI- Front Marhaenis, Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI), Pemuda Marhaenis, serta Front Petani Marhaenis di Yogyakarta. (kt1)

Redaktur: Faisal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com