Pilkada di Tengah Pandemik Lebih Rawan Politik Uang

YOGYAKARTA – Pembiayaan Pilkada ditengah terjadinya masa krisis karena COVID-19 menjadi masalah baru bagi penyelenggara Pemilu. Pasalnya dimungkinkan kandidat dari partai politik menggunakan mekanisme yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 untuk melakukan praktik haram politik uang, contohnya saja seperti politisasi bansos oleh petahana.

Hal itu diungkapkan Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu Giri Supradiyono, dalam diskusi daring yang diselenggarakan  Komite Independen Sadar Pemilu (KISP), Kamis, (09/07/2020).

“Hal yang menjadi sulit adalah untuk bagaimana membedakan antara bansos yang sebenarnya dan bansos yang dipolitisasi. Diembahasan yang sama, KPK telah membuat sebuah mekanisme yang bernama ‘jaga bansos’ dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyelewengan bansos ditengah pandemic,” ungkap Giri.

Giri menjelaskan, KPK memiliki 3 fungsi inti dalam menindak korupsi, antara lain seperti penindakan, pencegahan, Pendidikan dan partisipasi publik. Namun, kata dia, perlu digaris bawahi bahwa dalam konteks politik uang KPK tidak memiliki wewenang akan hal itu, politik uang akan diatur oleh para penyelenggara pemilu, namun dalam konteks korupsi karena politik uang maka KPK akan menjadi yang terdepan,

“KPK secara runtut memiliki track record yang baik dimata publik, contohnya pada tahun2018 tingkat kepercayaan public begitu tinggi diantara lembaga yang lain, sehingga KPK mengemban  tanggung jawab besar untuk menjaga kepentingan public,” imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Pembina KISP Bambang Eka cahya widodo mengungkapkan Politik uang dalam Pilkada 2020 erat kaitannya dengan petahan menggunakan anggaran publik untuk mengambil keuntungan dari masyarakat. Model kampanye di situasi pandemik Covid-19 ini berpotensi bergesernya bentuk kampanye ke virtual,

Namun ia menanyakan apakah ada orang secara sukarela mengikuti kampanye? Maka menurutnya ini akan kembali merefleksikan bentuk warga negara kita. Model kampanye ke depan kemungkinan akan menggunakan digital seperti podcast, youtube dan sebagainya,

“Namun kendalanya adalah tidak adanya insentif kepada masyarakat untuk mau menonton kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu. Bisa saja besok ada paketan pulsa yang masuk ke rekening dan nomor HP. Nomor HP bisa menjadi  hal krusial dan penting secara privasi untuk melanggengkan kampanye yng efektif dari peserta pilkada,” ujarnya.

Disisi lain, gerakan perlawanan seperti desa anti politik uang akan menemukan tatangannya dan berbeda dari biasanya. Pada saat covid akan menjadi sangat sulit karna tidak mudah untuk melibatkan diri dalam diskusi-diskusi online saat ini. Dugaannya ketika melakukan sosialisasi akan sangat tidak mudah untuk melibatkan masyarakat secara sukarela dalam edukasi dan kesadaran terkait politik uang. Kemudian banyak hal yang mesti dikerjakan secara bersama-sama terutama dengan KPK terkait pendanaan calon,

“Seringkali para peserta menyembunyikan uang-uangnya dengan berbagai macam cara sehingga sulit dideteksi. Banyaknya problem dari dana kampanye merupakan hal krusial karna sulit mendeteksi kebenaran dari laporan dana kampanye. Di level publik upaya-upaya pendidikan anti politik uang harus diupayakan, disisi lain dalam hal sistemik dan teknis juga perlu dibenahi,” tandasnya.

Sementara itu, pemateri lainnya, Staff Presiden Deputi IV bidang Informasi dan komunikasi politik Juri ardianto, Petahan kerap menggunakan fasilitas negara untuk memperoleh keuntungan dalam kontestasi pilkada. Menurut Juri, pimpinan Daerah ditunjuk sebagai ketua gugus tugas dalam penaganan Covid sehingga hal ini rentan dimanfaatkan oleh petahana terutama dalam hal bansos yang kerap diselewengkan,

“Ada pun beberapa upaya untuk meminimalisir potensi pelanggaran diantaranya pemberian bansos harus diberikan kewenangannya kepada pejabat daerah yang memilik otoritas. Begitu pun pimpinan daerah yang akan kembali maju yang kerap merangkap sebagai ketua gugus tugas harusnya dapat digantikan kepada pejabat yang memilik kewenangan lainnya,” imbuhnya.

Narasumber lainnya, anggota Bawaslu DIY Sutrisnowati menyebut, Petahana yang menjadi kompetitor dalam pilkada menjadi tantangan tersenidri terutama bagi penyelenggara dalam hal pengawasan dan penindakan. Penyelenggaraan Pilkada di era new normal akan membentuk pola-pola baru dalam hal politik uang,

“Tahapan kampanye menjadi hal yang paling rentan dalam terjadinya politik uang. Harus ada inisiatif-inisiatif yang dilakukan sebelum tahapan kampanye dimulai. Potensi permasalahan di era new normal ialah dari sisi Bawaslu adanya petahana tentu adanya kepentingan-kepentingan yang diselipkan dalam program-programnya,” tukasnya.

Bawaslu juga menghadapi kendala terkait regulasi. Jika melihat regulasi adanya perbedaan jangka waktu dalam pemilihan begitu singkat yakni 5 hari secara kalender, berbeda dengan pemilu yakni 14 hari kalender. Kemudian proses pengumpulan alat-alat bukti dimana ketika adanya laporan ke Bawaslu terdapat kendala dalam pembuktian,

“Ketika dikonfirmasi ternyata bukan sebagai politik uang malah dikatakan sebagai bantuan. Ini tentu menjadi kendala pembuktian bagi bawaslu. Bawaslu dalam melakukan upaya-upaya dalam pengawasan praktek politik uang terutama dalam pencegahan diharuskan adanya kolaborasi. Upaya-upaya dari Bawaslu harus dilakukan untuk mempersiapkan pengawas-pengawas dimasyarakat,” terang sutrisnowati.

Ia menjelaskan, Setidaknya terdapat 2 bentuk strategi yang dapat diterapkan dalam meminimalisisr Politik Uang. Strategi jangka pendek ialah dimana grakan Desa Anti Politik Uang merupakan upaya mitigasi Bawaslu dalam penyelenggaraan Pilkada. Sementara itu, salah satu strategi jangka panjangnya ialah perlu adanya sosialisasi yang dilakukan secara bersama-sama dengan Bawaslu.

Dalam diskusi bertema “ Ngobrol Bareng : Ancaman politik uang di pilkada 2020 bertujuan untuk mendiskusikan upaya pencegahan praktik politik uang dan pendidikan masyarakat mengenai bahaya politik uang tersebut, juga dihadiri para penggiat Desa Anti Politik Uang (APU). Diantaranya, Wangizatu Zakiyah dan Fauzi selaku inisiator desa Anti Politik Uang (APU) di desa Murtigading dan Sardonoharjo, Sleman. Mereka mendorong segera mengumpulkan tim desa APU yang di selenggarakan oleh Bawaslu agar sedini mungkin untuk melakukan pencegahan praktik politik uang di desa-desa. Dalam kesempatan tersebut, mereka melaporkan, sejauh ini sudah ada beberapa temua para calon kandidat telah memasang foto calon melalui program bantuan sosial seperti di handsanitizer dan bantuan makanan. (pr/kt1)

Redaktur: Faisal

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com