Oleh: Wahyuni Tri Ernawati*
“Sayangi bumi, niscaya bumi akan menyayangi kalian.”
Bumi adalah tempat dimana manusia tinggal. Manusia melakukan pelbagai aktivitas didalamnya, mulai dari bekerja, menuntut ilmu, bersosialisasi dengan sesama dan kegiatan lainnya dilakukan di bumi. Meskipun, ada beberapa manusia yang mendapat kesempatan untuk menjamah daerah di luar angkasa seperti bulan (baca: astronot), tetapi bumilah tempat mereka lahir dan menetap. Bersama dengan hewan dan tumbuhan, manusia bersinergi untuk menjaga eksistensi bumi.
Sinergi antar makhluk hidup di bumi berbentuk kerja sama yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekosistem global. Ekosistem yang dimaksud adalah ekosistem lingkungan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kualitas ekosistem tersebut semakin mengalami degradasi seiring menuanya bumi. Manusia sebagai khalifah perlu mengadakan pemberdayaan atau konservasi lebih mengenai isu tersebut. Bukan hanya mau menikmati bahkan mengeruk sumber daya alam sebanyak-banyaknya, melainkan ikut mempelopori gerakan save earth untuk masa depan generasi yang akan datang.
Pada zaman sekarang, bisa dilihat bahwa bumi nampak “sekarat”. Di mana-mana banyak terjadi kerusakan lingkungan akibat tangan-tangan jahil manusia yang kerap kali bertindak semena-mena. Mereka adalah para oknum yang hanya mementingkan ego pribadi tanpa memikirkan dampak perbuatan yang dijalani. Alhasil, bumi dan makhluk hidup lainnya harus ikut menanggung keserakahan mereka yang bisa dikatakan tidak berperi. Manusia yang tidak merusak saja sudah terhitung ikut menyumbang polusi, apalagi yang dengan sengaja merusak dan mengeksploitasi, tentu semakin besar dampak yang terjadi.
Manusia yang tidak bertanggung jawab itu menimbukan kerusakan lingkungan yang tidak terbilang ruginya. Salah satu dampak yang dihasilkan adalah krisis iklim di seluruh penjuru dunia. Menurut IPCC (International Panel on Climate Change), aktivitas sehari-hari yang dilakukan manusia di bumi telah menyebabkan kurang lebih 1,0 pemanasan global di atas tingkat pra industri. Tren tersebut menjadi titik tertinggi pemanasan global atau yang biasa disebut dengan global warming selama satu dekade terakhir. Oleh sebab itu, dikatakan sebagai krisis iklim dunia.
Penyumbang terbesar krisis iklim berasal dari sektor transportasi, pabrik-pabrik, rumah kaca dan sebagainya. Sektor-sektor tersebut, banyak menghasilkan emisi gas berupa karbon dioksida (CO2) yang sangat merugikan lingkungan. Meskipun karbon dioksida bermanfaat untuk proses fotosintesis, tapi apabila dalam jumlah yang banyak maka tentu akan berdampak negatif juga. Sebab, sesuatu yang berlebihan itu tidak baik.
Di sisi lain, menyinggung tentang Corona (Covid-19) yang akhir-akhir ini masih setia membayangi masyarakat, ternyata tidak selamanya menimbulkan efek buruk. Corona di mindset masyarakat, identik dengan marabahaya, mengancam keselamatan, mempersempit akses sosialisasi, menyebabkan krisis perekonomian dan sebagainya. Hal tersebut menjadi suatu yang lumrah, lantaran Corona benar-benar melumpuhkan hampir 75 negara di dunia.
Namun, ternyata ada dampak positif yang timbul akibat virus Corona ini, misal dalam bidang kesehatan. Masyarakat kini menjadi rajin mencuci tangan, rutin mengonsumsi makanan bergizi seperti sayuran dan buah-buahan, menjaga kebersihan dan sebagainya. Selain itu, efek nyata yag dapat masyarakat lihat adalah dalam bidang ekosistem lingkungan. Sebelum adanya Corona, di pelbagai daerah di Indonesia bahkan di belahan dunia, banyak ekosistem lingkungan yang rusak dan polusi merajalela, baik polusi udara, tanah, dan air.
Sekarang, ketika pemerintah Indonesia menerapkan social distancing atau PSBB, ekosistem lingkungan yang dahulunya rusak kini agak berkurang, polusi-polusi nampak tiada, udara terasa lebih segar. Ibu kota Negara Indonesia yaitu Jakarta contohnya. Jakarta sebagai salah satu kota termacet di dunia seakan kehilangan julukannya karena akibat positif adanya Corona. Hal serupa juga dirasakan oleh negara-negara lain di seluruh dunia yang terdampak Corona.
Namun, disamping adanya beberapa manfaat dari Corona, muncul suatu pertanyaan baru dibenak masyarakat, apakah manfaat tersebut dapat dirasakan selama-lamanya tanpa Corona?. Bisa kita lihat sendiri bahwa sejauh ini sangat sulit untuk mengubah pola hidup masyarakat maupun mengurangi resiko krisis iklim dunia. Ketika pandemi Corona muncul, tidak membutuhkan waktu yang lama pola hidup masyarakat mulai berubah kearah yang lebih baik.
Meskipun begitu, perubahan tersebut ternyata tidak berpengaruh sama sekali pada krisis iklim dunia. Artinya, krisis iklim akan senantiasa mengacam keberlangsungan makhluk hidup di bumi. Udara yang segar, polusi yang berkurang ternyata belum sanggup menghentikan laju krisis iklim dunia yang kini semakin mengkhawatirkan. Mengapa demikian? Karena hal tersebut hanya terjadi dalam kurun waktu yang singkat saja yaitu selama pandemi Corona.
Ketika Corona telah lenyap dari muka bumi, masyarakat akan kembali pada aktivitas sebelumnya. Alhasil, bermacam polusi yang menyesakkan akan kembali menghampiri. Jadi, apabila masih ingin merasakan keindahan bumi ciptaan sang Illahi dan mengurangi krisis iklim dunia, maka mari lestarikan apa yang sekarang kita lakukan di tengah pandemi Corona seperti beralih menaiki transportasi umum, menghemat listrik dan lain-lain. Wallahu a’lam bi al-shawaab. (*)
*Penulis adalah Mahasiswi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Walisongo Semarang, Mahasantri di Darr al-Qalam Semarang