Oleh Ratih Firsta Kusuma
Balai Pemasyarakatan (BAPAS) adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan kemasyarakatan sesuai dengan Undang-undang No. 12 tahun 1995 yang dalam hal ini berbeda dengan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) atau Rumah Tahanan Negara (RUTAN), dimana Lapas dan Rutan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Tujuan sistem pemasyarakatan adalah menyiapkan warga binaan pemasyarakatan, yang salah satunya disebut klien pemasyarakatan, agar dapat berintegrasi dan berperan kembali dalam keluarga dan lingkungan masyarakat luas secara sehat dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan tujuan dari sistem pemasyarakatan tersebut, maka peran seorang Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sangat penting dan strategis yaitu dalam melakukan penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbingan dan pengawasan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dalam rangka dilaksanakannya penyelesaian perkara anak yang melalui jalur non litigasi atau penyelesaian perkara anak diluar sistem peradilan pidana yaitu Diversi. Seorang PK mempunyai tugas khusus dalam proses penegakan hukum, karena seorang PK merupakan salah satu bagian dari sistem tata peradilan pidana, seperti halnya Polisi, Jaksa, Hakim, atau Pengacara. Dengan adanya UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang berfokus pada Keadilan Restoratif dan Diversi menekankan pada “Pemulihan” daripada “Pembalasan”. Pembuatan Undang-undang ini diharapkan dapat mengubah stigma masyarakat yang memandang anak sebagai ‘pelaku kriminal’, dan membuat masyarakat sadar bahwa anak masih dalam masa pengembangan diri dikarenakan mereka masih memerlukan Pendidikan untuk masa depannya serta mereka secara Undang-undang yang mengatur, dinyatakan belum dapat mempertanggungjawabkan perilakunya secara penuh. Terkait dengan hal tersebut, sesuai dengan UU. No. 11 tahun 2012 ayat 24 maka PK Bapas dituntut untuk berperan lebih besar terhadap penanganan ABH. PK dalam tupoksinya memberikan pendampingan dalam proses penyidikan salah satunya yaitu dalam hal membantu penegak hukum selain itu memberikan pembimbingan dan pengawasan. perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana, sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”).
UU SPPA secara substansial telah mengatur secara tegas mengenai keadilan restoratif yaitu proses pengalihan dari proses pidana formal ke informal sebagai alternatif terbaik penanganan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana dengan cara semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah untuk menangani akibat perbuatan anak di masa yang akan datang.dan diversi yang dimaksudkan adalah untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Pelaksaanan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum Pasal 7 ayat 1 UU SPPA adalah suatu kewajiban untuk dilakukan oleh setiap tingkat penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana, sementara sebagaimana yang tertuang didalam Pasal 7 ayat 2 UU SPPA juga mensyaratkan pelaksanaan diversi dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 7 tahun dan juga bukan merupakan pengulangan tindak pidana,pada pelaksanaanya dijelaskan oleh PK yaitu Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, PK dan Pekerja Sosial Profesional dan tokoh masyarakat dilingkungan tempat tinggal anak. Hal ini tentunya bagian terpenting yang harus di perhatikan oleh PK karena dalam Proses Diversi harus memperhatikan hal-hal wajib antara lain kepentingan korban,kesejahteraan dan tanggung jawab Anak, penghindaran stigma negative, penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat dan kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dalam Diversi di setiap tingkatan sistem peradilan pidana anak, keberadaan PK Bapas dipandang sangat sentral karena hasil penelitian dari PK Bapas akan sangat berpengaruh terhadap hasil akhir Diversi itu. Kesepakatan diversi paling lama 3 hari sesuai ketentuan harus diajukan kepengadilan untuk dilakukan penetapan. Keberadaan PK dalam pelaksanaan diversi mendukung terciptanya restorative justice, dimana PK memandang permasalahan ABH tidak hanya dari perilaku pelanggaran hukumnya, namun melihat seluruh aspek kehidupan yang mempengaruhi kenapa ABH melakukan pelanggaran hukum tersebut. Sehingga tercipta keadilan dan keseimbangan hukum bagi pelaku dan korban.(*)
*Penulis adalah Pembimbing Kemasyarakatan Muda di Bapas Kelas II Klaten