YOGYAKARTA – Koalisi Masyarakat Untuk Udin (KAMU) kembali mendesak pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya terkait kasus tewasnya Wartawan Udin.
Koordinator KAMU, Tri Wahyu KH mengatakan, 16 Desember 2020, kasus tewasnya Wartawan Udin genap 24 tahun 4 bulan. Menurutnya, sampai sekarang publik tak pernah menyaksikan presiden menegur Kapolri yang tak ada agenda jelas dan konkret dalam penuntasan kasus Udin,
“Di setiap peringatan tahunan kasus Udin, pernyataan rutin yang selalu disampaikan institusi kepolisian adalah, masih dalam penanganan. Bila warga ada bukti dan kesaksian, silakan sampaikan ke polisi. Namun, tak ada kemajuan serius penegakan hukum kasus Udin. Pun, luka-luka keluarga korban pelanggaran HAM lain tetap saja menganga,” kata Tri Wahyu dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Tri Wahyu juga menilai komitmen Prseiden Joko Widodo yang tak hanya berhenti di pidato untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, hanya isapan jempol. Pernyataan Joko Widodo saat peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) ke-72 pada 10 Desember lalu, belum terbukti,
“KAMU menyatakan pidato penegakan HAM Presiden Jokowi masih sekadar berhenti di pidato. Padahal, sejatinya aktor kunci penegakan HAM dan hukum berkeadilan seharusnya adalah Presiden Joko Widodo sendiri, sebagai pengejawantahan mandat konstitusi dan nawacita. Dengan begitu, presiden belum menjadi solusi dalam penegakan HAM dan hukum berkeadilan, melainkan masih menjadi bagian dari masalah,” ujarnya.
Ia menjelaskan, enam tahun pemerintahan Joko Widodo masih menyisakan persoalan penegakan HAM berat masa lalu. Kasus Wiji Thukul, Marsinah, Udin, pembunuhan Salim Kancil, bahkan ditambah kasus-kasus yang belakangan merebak seperti kasus penangkapan sewenang-wenang demonstran omnibus law, juga urung dituntaskan.
Tak kalah mencengankan, kata Tri Wahyu, peristiwa terbaru dimana korban pelanggaran HAM berat dengan kuasa hukum dari YLBHI, LBH Jakarta, KontraS dan Amnesty Internasional justru menggugat Jaksa Agung, S.T. Burhanuddin yang menyatakan peristiwa Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat,
“Makin ironi, peristiwa ini justru terjadi setelah Jaksa Agung dielukan Jokowi sebagai aktor kunci penegakan HAM,” tukas Tri Wahyu.
Pernyataan Jaksa Agung merupakan cerminan ketidakmampuan negara menuntaskan kasus serupa. Jaksa Agung belum melaksanakan tugasnya, yakni melakukan penyidikan peristiwa Semanggi I dan II secara komprehensif. PTUN akhirnya memutus Jaksa Agung melakukan tindakan melawan hukum,
“Jika komitmen Presiden tak hanya berhenti di pidato, mestinya presiden “menjewer” Jaksa Agung. Bahkan kalau perlu, ganti saja Jaksa Agung sebagai hukuman atas gagalnya jaksa agung menegakkan HAM dan hukum berkeadilan,” tegas Tri Wahyu KH. (pr/rd1)
Redaktur: Ja’faruddin. AS