Pendidikan Anak Berkonflik dengan Hukum, Haruskah Terhenti?

Jawa Tengah – Pendidikan menjadi pintu gerbang anak mencapai masa depan lebih baik. Mendapatkan pengetahuan, mengenal lingkungan sosial, dan mengembangan kapasitas dirinya adalah elemen dalam pendidikan. Sekolah menjadi tempat anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan mengembangkan potensi dirinya. Namun, bagi anak-anak yang berkonflik dengan hukum (ABH), tidak semua mendapatkan kesempatan yang sama akan pendidikan yang berkualitas.

“Data Balai Pemasyarakatan (Bapas) se-Jawa Tengah per 02 Juli 2021 terdapat 45 ABH terpaksa putus sekolah saat menjalani proses hukum. 11,1% anak dikeluarkan dari sekolah; 11,1% anak diminta mengundurkan diri oleh sekolah; dan 77,8% anak mengundurkan diri karena keinginan pribadi. Ibarat sudah jatuh masih tertimpa tangga. Anak yang seharusnya masih mendapatkan pendidikan formal masih diminta mengundurkan diri karena masih berurusan hukum.” disampaikan A. Yuspahruddin BH, Kepala Kanwil Kumham Jawa Tengah dalam webinar berjudul “Pendidikan Anak Berkonflik Hukum, Haruskah Terhenti?”. Webinar yang terselenggara atas kerja sama Sahabat Kapas dan Bapas Kelas II Klaten ini berlangsung pada Hari Jumat, 30 Juli 2021.

Saat ini terdapat 61 anak di dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kutoarjo baik dari jenjang SD sampai SMA. Tantangan pendidikan ABH adalah dikeluarkan dari sekolah, tidak terdaftar/bersekolah formal, dan proses hukum tidak pasti waktu selesainya.

“Permasalahan ABH ini beragam sehingga dibutuhkan semua duduk bersama dan membahas tentang pendidikan mereka. Pendidikan adalah kunci karena kita harus menjamin anak tetap belajar apapun situasinya. ABH harus tetap belajar” ujar Syamsudin Isnaini, Kabid Pembinaan SMA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.

Kondisi di atas menjadi perhatian khusus bagi Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, ketika berbicara dihadapan 1.000 peserta webinar lewat aplikasi zoom maupun youtube live.

“Harus ada lompatan yang harus kita dorong agar anak-anak kita maju. Kita, orang tua dan guru, ayo mengarahkan anak-anak kita. Satu saja life skill sesuai bakat atau kesukaan mereka. Jangan paksakan mereka. Kita dorong anak-anak kita.” ujar Ganjar untuk memotivasi audiens dalam memperlakukan anak-anak sesuai dengan kondisi anak, bakat, dan minatnya sehingga tidak hanya kecerdasan intelektual yang terbentuk tapi juga kecerdasan emosional.

Ketua KPAI, Susanto, menekankan bahwa tingkat pendidikan yang rendah pada ABH akan menaikkan kerentanan mereka. Hal ini selaras dengan pernyataan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Klaten, Heri Pamungkas yang mendampingi beberapa ABH putus sekolah, “Tidak serta merta mengeluarkan anak, melibatkan semua instansi terkait untuk berkolaborasi dan ada solusi sebelum mengeluarkan anak. Agar hak pendidikannya tetap terpenuhi.”

Prioritas program KPAI terkait pemenuhan hak pendidikan anak termasuk bagi ABH di LPKA. Pemenuhan hak pendidikan anak membutuhkan usaha yang besar dan dukungan berbagai pihak. Ditunjukan lewat komitmen negara yang besar untuk memastikan perlindungan anak.

Gubernur Ganjar juga menekankan untuk kolaborasi membangun desain pendidikan yang mampu mendorong para ABH menjadi lebih maju dan berkarya. LPKA Kutoarjo menjadi laboratorium hidup untuk pendidikan yang berkualitas bagi ABH.

“Kita perlu bergerak bersama, berpikir secara holistik untuk menyelesaikan permasalahan ini. Kita buat sistem yang baik untuk dapat dijadikan public policy. Misalnya saja, kita buat pendidikan di LPKA Kutoarjo menjadi lebih baik lagi, dengan mengikutkan anak di sana (LPKA) bersekolah di sekolah sekitar mungkin.”

Pendidikan ABH yang berkualitas menjadi tugas kita bersama untuk mewujudkannya. Orkestrasi kolaborasi antar instansi, organisasi perangkat daerah, dan sekolah adalah hal wajib jika ingin anak-anak Indonesia di masa datang menjadi generasi pemimpin yang membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju. Buka peluang seluas-luasnya bagi ABH, karena mereka memiliki hak setara untuk mendapatkan akses pendidikan formal seperti anak lain. Jika akses pendidikan formal ABH masih dipersulit, hal ini menunjukkan masih adanya diskriminasi bagi anak.(ist)

Redaktur : hennyra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com