Globalisasi merupakan proses yang melahirkan interaksi antar budaya di berbagai belahan dunia melalui arus informasi tanpa dapat dibendung lagi. Proses globalisasi ini bahkan merambah hingga ke dunia pendidikan. Arus globalisasi dalam dunia pendidikan ditandai dengan mendunianya pemikiran dan filosofi tertentu ke daerah lain yang kemudian mempengaruhi praktik dan kebijakan pendidikan lokal. Pandangan masyarakat di belahan dunia timur, termasuk di Indonesia, yang masih menjadikan pemikiran dan filosofi barat sebagai kiblat ilmu pengetahuan menjadikan globalisasi ini berjalan dalam satu arah, yaitu barat ke timur.
Pemikiran dan filosofi barat yang dijadikan kiblat kemudian ditiru untuk diadopsi dan diterapkan dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan. Adopsi dan penerapan inilah yang kemudian dapat menyebabkan hilang atau matinya pemikiran dan filosofi lokal. Keduanya diterapkan mentah-mentah tanpa melalui penyesuaian dan dianggap maju jika sudah menerapkanya dalam pendidikan. Maka berbondong-bondonglah lembaga pendidikan berangkat mempelajari berbagai pemikiran dan filosofi barat ini untuk diterapkan di sekolahnya.
Sekolah akan memilih pemikiran dan filosofi pendidikan yang sudah teruji kualitas pelaksanaanya di negara asalnya. Salah satu cara untuk dapat mengadopsi dan menerapkan keduanya dilakukan melalui pembelian franchise. Sekolah, bahkan saat ini sudah mulai merambah dunia pendidikan anak usia dini (PAUD), sudah mulai menginternasionalisasikan lembaganya dengan cara membeli franchise pendekatan kurikulum dari barat untuk diretapkan. Franchise dilakukan sebagai cara untuk menjaga mutu dan kualitas pendidikan di lembaga PAUD. Dengan franchise, sekolah dapat menerapkan pendekatan yang sudah teruji kualitasnya. Sekolah tidak perlu melalui tahapan panjang untuk melakukan penelitian atas kualitas pembelajaran yang diterapkan.
Adopsi pendekatan kurikulum dan pembelajaran asing, baik melalui franchise maupun sekedar pelatihan, perlu memperhatikan lingkungan masyarakat sekitar sekolah. Setiap bangsa memiliki budaya yang berbeda sehingga tidak semua unsur pemikiran dan filosofi yang diadopsi dapat diterima masyarakat sekitar sekolah. Hal ini pun dialami di Indonesia yang memiliki tidak kurang dari 300 etnis. Penerapan ini membutuhkan penyesuaian agar dapat diterima masyarakat dan sesuai dengan kondisi anak di Indonesia. Globalisasi membawa budaya, kurikulum, maupun kebijakanya sendiri dan akan berhadapan dengan budaya, kurikulum, dan kebijakan pemerintah Indonesia, lebih khusus daerah. Penyesuaian diperlukan agar keduanya tidak saling berbenturan atau mengakibatkan salah satunya punah. Adaptasi ini dapat dilakukan melalui hibridisasi.
Hibridisasi atau hibridasi biasanya dijumpai pada istilah teknologi, budaya, atau pertanian sebagai penggabungan. Hibridisasi dalam pendidikan diperlukan untuk menggabungkan dua atau lebih budaya belajar, kurikulum, maupun kebijakan dalam pelaksanaanya. Penggabungan ini dibutuhkan agar pelaksanaan pendidikan tidak saling menyerang atau menghilangkan. Pemikiran dan filosofi asing yang datang utamanya berwujud dalam kurikulum pendidikan tidak kemudian menggeser kurikulum lokal yang diperlakukan pemerintah. Hibridisasi selayaknya tidak sekedar menggabungkan unsur yang tampak saja, namun perlu menggabungkan juga mulai dari filosofi pembelajaran.
Hibridisasi perlu dilakukan untuk mempertahankan paham kebangsaan dan kelokalan agar tidak musnah di sekolah franchise. Anak usia dini merupakan agen bagi kelangsungan paham kebangsaan Indonesia dan kelokalan dari berbagai budaya yang ada di negara ini. Diharapkan hibridisasi mampu mempertahankan paham-paham keindonesiaan ini ditengah penerapan pemikiran dan filosofi asing dalam pendidikan. Anak-anak tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia, walau menjalani pendidikan di sekolah internasional.
Kurikulum, materi, media, hingga langkah pembelajaran merupakan objek-objek yang dapat dihibridisasikan dalam pendidikan sekolah internasional. Hibridisasi dilakukan dalam upaya untuk saling melengkapi berbagai unsur pendidikan tersebut tanpa saling memusnahkan dan sebagai bentuk inovasi pendidikan di PAUD. Indentitas bangsa perlu ditanamkan pada anak sejak dini di tengah gempuran globalisasi yang sudah tanpa batas ini. Jika sekolah mampu melakukan hibridisasi, pelaksanaan pendidikan tidak akan menghilangkan paham keindonesiaan di sekolah internasional sekalipun. Diharapkan nantinya akan melahirkan generasi-generasi yang mencintai tanah air beserta budayanya. Akan lahir generasi yang bangga pada bangsanya sendiri.
Langkah untuk melakukan hibridisasi perlu dipahami guru dengan melakukan pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan dapat dilakukan secara rutin untuk mempelajari komponen pendidikan adopsi dan lokal. Pelatihan sebaiknya memberi bekal pelaksanaan pendidikan mulai dari filosofi hingga implemetasinya dalam pendidikan. Filosofi pendidikan dan implementasi yang dimaksud terdiri dari adopsian dan lokal. Keduanya perlu dipahami guru untuk kemudian dapat menentukan bagian mana yang akan disesuaikan. Hibridisasi berarti menggabungkan, sehingga tidak sepenuhnya menggunakan filosofi pendatang ataupun lokal dan tidak juga sepenuhnya menghilangkan salah satu dari keduanya.
Hasil hibridisasi yang sudah tercatat dalam sejarah di Indonesia adalah Taman Indria yang dikembangkan oleh tokoh pendidikan Indonesia, yaitu Ki Hajar Dewantara. Beliau mengadopsi pemikiran dan filosofi Froebel yang dikenal sebagai bapak Taman Kanak-kanak (TK). Froebel mengembangkan pendidikan di tingkat TK yang oleh Ki Hajar Dewantara dibawa ke Indonesia dan dipadukan dengan budaya bangsa Indonesia. Hasil perpaduan ini melahirkan Taman Indria sebagai lembaga pendidikan di tingkat usia dini yang masih berjalan hingga saat ini. Apakah kemudian ahli-ahli pendidikan modern di Indonesia saat ini mampu melahirkan inovasi hasil hibridisasi seperti Taman Indria ? (*)
*Penulis adalah akademisi dan praktisi PAUD di Daerah Istimewa Yogyakarta