Pelecehan Seksual dan Penerapan Hukumnya di Indonesia

Oleh: Ainun Nazilah

Berita pelecehan seksual tidak asing lagi di Indonesia. Berbagai berita tentang terjadinya pelecehan seksual sering dimuat di media. Termasuk pelecehan seksual yang terjadi di lingkunguan pendidikan.

Disebutkan dalam website Wikipedia, pelecehan seksual adalah perilaku pendekatan-pendekatan yang terkait dengan seks yang tak diinginkan. Termasuk di dalamnya permintaan untuk melakukan “hubungan” seks, atau perketaan ataupun tindakan yang berkonotasi seks. Perkataan atau perilaku yang mengarah pada “seks” bisa secara verbal maupun fisik.

Terkadang digunakan diksi kekerasan seksual, untuk menunjuk hal yang sama tentang pelecehan seksual. Pelecehan ataupun kekerasan seksual dapat terjadi di manapun, baik di rumah, di tempat kerja, di tempat  pendidikan, bahkan di tempat ibadah. Hanya saja, barangkali tingkatannya yang berbeda.

Sebuah riset dari Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menunjukan bahwa dari 300 mahasiswi yang disurvei di seluruh Indonesia 40% dari mereka pernah pengalaman pelecehan atau kekerasan seksual. Data dari United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyebutkan semua perempuan dalam 25% pernah mengalami pelecehan seksual dalam hidupnya baik verbal maupun fisik. Data ini menunjukan bahwa pelecehan seksual merupakan hal yang sangat serius dan harus ditanggulangi.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlidungan Perempuan  dan Anak, terhitung sejak Januari-Juli 2020 pelapor kasus kekerasan terhadap perempusan dewasa sebanyak 3.020 dengan korban 3.059. Kekerasan seksual terhadap anak 2.556. Bentuk kekerasannya bermacam-macam. Kekerasan kekerasan fisik 2.025 kasus, kekerasan seksual 1.983 kasus,  kekerasan psikis 1.792 dan kekerasan karena factor ekonomi 680 kasus. Kasus kekerasan di Ranah Publik atau Komunitas sebesar 21% (1.731 kasus) dengan kasus paling menonjol adalah kekerasan seksual sebesar 962 kasus (55%).

Seringkali pihak tertuduh justru dari perempuan yang sebenarnya korban. Orang selalu menyalahkan korban kekerasan atau pelecehan seksual karena perilaku korban sendiri. Misalnya karena dianggap memakai baju yang tidak pantas, atau mungkin korban yang menggoda pelaku terlebih dahulu dan lain-lain. Tuduhan tersebut membuat para koban pelecehan atau kekerasan seksual tidak berani untuk melapor karena takut digunjing oleh masyarakat.

Kekerasan seksual merupakan tindak pidana. Hal ini merujuk pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual idealnya lebih menekan pada perlindungan korban. Namun seperti pada pemidanaan pada umumnya, kurang bahkan tidak memperhatikan pemenuhan hak-hak korban.

Tujuan adanya UU TPKS adalah untuk mencegah segala bentuk kekerasan seksual, menangani, melindungi dan memulihkan seksual, melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku serta mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual. Tindak pidana kekerasan seksual non fisik akan dapat dikenakan pidana penjara paling lama 9 bulan. Sedangkan tindak pidana kekerasan seksual secara fisik dapat dikenakan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000.

Pelecehan seksual dapat berdampak buruk. Misalnya korban mengalami dampak fisik yang dapat memengaruhi kesehatan fisik misalnya penyakit menular seksual seperti HIV, Harpes, Bepatitis, dll. Bukan hanya fisik korban juga akan mendapatkan dampak sosial yang dapat berdampak pada relasi sosialnya seperti perasaan malu bertemu orang lain, dikucilkan dari lingkungannya oleh teman sebaya, keluarga dan lainnya, sulit mempercayai orang lain, mengisolasi diri, takut untuk menjalin relasi dengan orang lain lagi. Bahkan dapat berdampak psikologi korban yang mempengaruhi kesehatan mental.

(*)

 Ainun Nazilah adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

45 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com