Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia

Oleh: Mohammad Khamim*

Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keragaman, mencakup beraneka ragam etnis, bahasa, agama, budaya, dan status sosial. Keragaman bisa menjadi integrating force yang mengikat kemasyarakatan namun dapat menjadi penyebab terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan antar nilai-nilai hidup. Masyarakat multikultural, dalam berinteraksi antar sesama manusia cukup tinggi intensitasnya, sehingga kemampuan sosial warga masyarakat dalam berinteraksi perlu dimiliki setiap anggota masyarakat. Kemampuan tersebut mencakup: affiliation (kerjasama), cooperation and resolution conflict (kerjasama dan penyelesaian konflik), kindness, care and affection/ emphatic skill (keramahan, perhatian, dan kasih sayang)  (Curtis, 1988).

Keragaman suku, ras, agama, perbedaan bahasa dan nilai-nilai hidup yang terjadi di Indonesia sering berbuntut berbagai konflik. Masyarakat Indonesia yang multibudaya, menjadikan sikap keberagamaan yang ekslusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak, tentu dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama. Konflik keagamaan yang banyak terjadi di Indonesia, umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga memicu konflik. Untuk mewujudkan moderasi tentu harus dihindari sikap inklusif.

Agama menjadi pedoman hidup dan solusi jalan tengah yang adil dalam menghadapi masalah hidup dan kemasyarakatan, agama menjadi cara pandang dan pedoman yang seimbang antara urusan dunia dan akhirat, akal dan hati, rasio dan norma, idealisme dan fakta, individu dan masyarakat. Hal sesuai dengan tujuan agama diturunkan ke dunia ini agar menjadi tuntunan hidup, agama diturunkan ke bumi untuk menjawab berbagai persoalan dunia, baik dalam skala mikro maupun makro, keluarga (privat) maupun negara (publik).

Moderasi beragama tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran dan menghilangkan jati diri masing-masing. Sikap moderasi tidak menistakan kebenaran, kita tetap memiliki sikap yang jelas dalam suatu persoalan, tentang kebenaran, tentang hukum suatu masalah, namun dalam moderasi beragama, kita lebih pada sikap keterbukaan menerima bahwa diluar diri kita ada saudara sebangsa yang juga memiliki hak yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang berdaulat dalam bingkai kebangsaan.

Moderasi Islam menjadi paham keagamaan keislaman yang mengejewantahkan ajaran Islam yang sangat esensial. Ajaran yang tidak hanya mementingkan hubungan baik kepada Allah, tapi juga hubungan baik kepada seluruh manusia. Bukan hanya pada saudara seiman tapi juga kepada saudara yang beda agama. Moderasi Islam lebih mengedepankan persaudaraan yang berlandaskan pada asas kemanusiaan, bukan hanya pada asas keimanan atau kebangsaan.

Pemahaman seperti itu menemukan momentumnya dalam dunia Islam secara umum yang sedang dilanda krisis kemanusiaan dan Indonesia secara khusus yang juga masih mengisahkan sejumlah persoalan kemanusian akibat dari sikap yang kurang moderat dalam beragama. Konsekuensinya, perkembangan hukum Islam menjadi dinamis dan sesuai zaman. Jadi dalam kehidupan multikultural diperlukan pemahaman dan kesadaran multibudaya yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan sekaligus kemauan berinteraksi dengan siapapun secara adil. Wawasan multibudaya bagi masyarakat Indonesia menjadi kebutuhan penting dalam membangun keharmonisan bangsa, sehingga perlu dilakukan pendidikan, pelatihan dan penyuluhan terhadap masyarakat. Moderasi beragama perlu ditumbuhkan melalui sarasehan, pengajian, maupun dialog kebangsaan, sehingga menjadi sikap bangsa Indonesia.

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS. Al-Baqarah [2]:143. Kata al-wasath bermakana terbaik dan paling sempurna. Hadis juga menyebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-tengah. Moderat dalam pemikiran Islam mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme), baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan (Darlis, 2017).

Meyakini agama Islam paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan antar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah Saw. Sedangkan konsep Islam inklusif adalah tidak hanya sebatas pengakuan akan kemajemukan masyarakat, tapi juga harus diaktualisasikan dalam bentuk keterlibatan aktif terhadap kenyataan tersebut. Sikap inklusivisme yang dipahami dalam pemikiran Islam adalah memberikan ruang bagi keragaman pemikiran, pemahaman dan perpsepsi keislaman.

(*)

*Dr. Mohamad Khamim, M.H., adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

44 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com