Makna Halal bi Halal dalam Konteks Konflik Agraria: Memahami Dinamika Identitas dan Solidaritas Sosial

Oleh: Bha’iq Roza Rakhmatullah*

Gejolak konflik agraria yang semakin meluas di berbagai wilayah, memunculkan sebuah konsep dalam memahami dinamika identitas dan solidaritas sosial yaitu “Halal bi Halal”. Konsep ini tidak hanya sekadar ritual ibadah dan budaya tradisional dalam merayakan Idul Fitri, tetapi juga memiliki implikasi yang dalam dalam menyelesaikan konflik agraria yang kerap memunculkan pertikaian antara masyarakat, pemilik lahan, dan pemerintah.

“Halal bi Halal” secara harfiah berarti “menciptakan keadaan yang baik kembali”. Dalam konteks konflik agraria, hal ini bisa diartikan sebagai upaya untuk mendamaikan berbagai pihak yang terlibat dalam konflik, menciptakan kembali hubungan yang harmonis, dan mengembalikan keadaan sosial yang tenteram. Namun, makna yang lebih dalam dari “Halal bi Halal” adalah tentang memaafkan, memulihkan hubungan, dan membangun kembali kepercayaan antara individu dan komunitas.

Dalam konflik agraria, identitas berperan penting. Identitas masyarakat petani, sebagai pemegang hak atas tanah, seringkali menjadi titik sentral dalam konflik agraria. Mereka mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian integral dari lahan yang mereka garap, dan konflik agraria seringkali menjadi pertarungan untuk mempertahankan identitas itu. Di sisi lain, pemilik modal atau pemerintah mungkin mengidentifikasi diri mereka sebagai pemilik sah lahan tersebut. Dalam konteks ini, “Halal bi Halal” menjadi penting untuk memperbaiki hubungan yang retak akibat konflik tersebut.

Solidaritas sosial juga merupakan komponen krusial dalam penyelesaian konflik agraria. Konflik semacam itu tidak hanya melibatkan dua pihak yang bertikai, tetapi juga mempengaruhi komunitas secara luas. “Halal bi Halal” menciptakan momentum untuk memperkuat solidaritas diantara berbagai pihak yang terlibat, baik itu masyarakat petani yang terdampak langsung, pemilik modal, atau pemerintah. Dengan memaafkan dan memulihkan hubungan, solidaritas dapat dibangun kembali, dan upaya bersama untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan dapat dijalankan.

Namun demikian, implementasi “Halal bi Halal” dalam penyelesaian konflik agraria bukanlah tanpa tantangan. Tidak semua pihak yang terlibat mungkin bersedia untuk memaafkan atau menerima permintaan maaf. Beberapa masyarakat petani mungkin merasa bahwa memaafkan adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan mereka untuk hak atas tanah mereka. Di sisi lain, pemilik modal atau pemerintah mungkin enggan untuk mengakui kesalahan atau melakukan kompromi yang dapat merugikan kepentingan mereka.

Dalam rangka memahami dan menerapkan “Halal bi Halal” dalam penyelesaian konflik agraria, penting untuk mempertimbangkan konteks lokal, sensitivitas budaya, dan kebutuhan serta kepentingan berbagai pihak yang terlibat. Memperkuat dialog, membangun kepercayaan, dan menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa yang inklusif dapat menjadi langkah-langkah penting dalam mewujudkan makna sejati dari “Halal bi Halal” dalam konteks konflik agraria. Hanya dengan demikian, perdamaian yang berkelanjutan dan keadilan sosial dapat tercapai, dan masyarakat bisa hidup berdampingan dengan damai diatas tanah ibu pertiwi.

*Dikutip dari berbagai sumber.

*Bha’iq Roza Rakhmatullah adalah Dosen Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

44 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com