May Day Fenomena Perjuangan Buruh untuk Hidup Lebih Layak

oleh: Sanusi*

1 Mei atau yang sering dikenal dengan istilah May Day atau Hari Buruh Internasional merupakan momen penting bagi kaum buruh di seluruh dunia. Pada tanggal 1 Mei, para pekerja memperingati perjuangan mereka untuk mendapatkan hak-hak yang adil dan layak di tempat kerja.   Hari Buruh di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan penuh perjuangan. Mulai pada masa Kolonial Belanda: Sejarah Hari Buruh di Indonesia dimulai pada era Kolonial Belanda, tepatnya pada 1 Mei 1918.

Sebenarnya pelopor peringatan ini adalah Serikat Buruh Tang Hwee. Ada seorang tokoh sosialis Belanda bernama Adolf Baars yang mengkritik harga sewa tanah milik kaum buruh yang dianggap terlalu murah untuk dijadikan perkebunan. Masa Kemerdekaan: Peringatan Hari Buruh di Indonesia kembali muncul pada masa Kemerdekaan pada 1 Mei 1946. Kabinet Sjahrir mengizinkan peringatan Hari Buruh dilakukan. Bahkan dianjurkan untuk dilakukan secara terbuka. Lalu ditetapkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1948 yang mengatur bahwa tanggal 1 Mei para buruh diizinkan libur bekerja. Masa Orde Baru dan Reformasi: Selama periode ini, buruh mengalami berbagai tantangan hingga diakui sebagai peringatan nasional. Kekuatan para buruh terletak pada kebersamaan dan komitmen untuk mencapai kesejahteraan dalam bekerja

Moment 1 Mei 2024 dapat dirangkum sejumlah tuntutan dan aspirasi perjuangan buruh dalam mendapatkan upah hidup yang layak dan kesejahteraan: Pertama, adalah Tuntutan Upah Layak, pada 1 Mei 2024 melalui KASBI (Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia) menuntut pemerintah untuk memberlakukan upah layak nasional secara adil dan bermartabat. Mereka berpendapat bahwa sistem pengupahan yang berlaku saat ini belum mencerminkan upah yang layak. Sejak diberlakukannya Omnibus Law Cipta Kerja pada tahun 2021, pemerintah menghapus variabel kebutuhan hidup layak sebagai pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Akibatnya, kenaikan upah tidak pernah mencapai kebutuhan hidup yang layak. Pengurangan upah buruh juga terjadi terkait upah sektoral, yang tidak lagi diberlakukan sejak 2021 dan tidak mengalami kenaikan hingga saat ini.

Kedua, Hak Berunding untuk Menetapkan Upah, Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia, menyayangkan beberapa aturan dalam UU Cipta Kerja yang menghilangkan hak berunding untuk menetapkan upah minimum. Dewan pengupahan di tingkat kota, provinsi, dan nasional cenderung kehilangan fungsinya.

Ketiga ,Penghapusan Jaminan Kepastian Kerja, UU Cipta Kerja menghilangkan jaminan kepastian kerja bagi buruh. Hal ini membuat pekerja semakin sulit karena ketidakpastian dalam pekerjaan.

Keempat, Pengurangan Hak Upah dan Pesangon UU ini juga mempengaruhi hak upah dan pesangon. Beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja mengurangi hak-hak ini, yang berdampak negatif pada kesejahteraan buruh, hal ini diangga buruh sebagai bentuk Mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan UU Cipta Kerja dinilai mengabaikan HAM. Beberapa ketentuan dalam UU ini tidak memperhatikan hak-hak dasar pekerja, termasuk hak untuk hidup bermartabat.

Kelima, Perluasan Outsourcing dan Masuknya Tenaga Kerja Asing (TKA), UU ini memperluas jenis pekerjaan yang dapat di-outsourcing, yang dapat merugikan buruh. Selain itu, masuknya TKA yang tidak terampil juga menjadi perhatian.

(*)

*Sanusi adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Univesitas Pancasakti Tegal.

44 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com