Stem Cell dalam Kerangka Omnibus-Law

Oleh: Suci Hartati*

Di Indonesia, konsep Omnibus-Law ini dapat menyedarhanakan secara sekaligus sekitar 80 Undang-undang dan 1.200 pasal hanya dalam satu Undang-undang Cipta Kerja. Hal tersebut memiliki manfaat untuk memperbaiki iklim investasi dan mewujudkan kepastian hukum. Akan tetapi terdapat hal kontroversial didalam RUU Cipta kerja, perserikatan buruh dan mahasiswa menggertak adanya konsep Omnibus-Law yang menciptakan adanya RUU Ciptakerja. Dari segi hukum, omnibus law adalah satu undang-undang yang mengatur banyak hal atau mencakup banyak aturan di dalamnya. Omnibus law juga bisa disebut sebagai metode pembuatan regulasi yang menghimpun sejumlah aturan di mana esensi setiap aturan berbeda-beda, namun tergabung dalam satu paket hukum. Hal ini sama dengan apa yang dimaksudkan dalam program Stem Cell.

Stem Cell merupakan suatu istilah yang ada di bidang kesehatan yaitu sel yang menjadi awal mula dari pertumbuhan sel lain yang menyusun keseluruhan tubuh organisme, termasuk manusia. Apa yang dimaksud dari stem cell itu sendiri jika dikaitkan kedalam segi hukum maka akan sama dengan apa yang disebut dengan omnibus-law. Jika dipahami lebih lanjut, stem cell merupakan merupakan sel naif yang dapat membelah diri dan dapat berkembang menjadi berbagai macam sel dalam tubuh manusia, sehingga berpotensi digunakan untuk menggantikan berbagai jaringan tubuh yang rusak. Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa stem cell dalam konsep omnibus-law ini merupakan suatu istilah yang berbeda bidang tetapi memiliki maksud yang sama. Sem Cell dalam konsep omnibus-law dapat diartikan sebagai suatu payung hukum yang berisikan undang undang yang merangkum dari berbagai jenis undang undang dan juga pasal pasal yang masih pasif.

Konsep omnibus law atau omnibus bill sering digunakan di negara yang menganut sistem common law seperti Amerika Serikat untuk dipergunakan dalam membuat sebuah regulasi. Regulasi dalam konsep ini adalah membuat satu undang-undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Keberadaan undang-undang ini mempunyai kedudukan yang strategis dan penting yang dapat dilihat dari konsepsi negara hukum, hierarki norma hukum, dan fungsi undang-undang pada umumnya.

Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral dari sebuah negara. Jika keterkaitan dan keselarasan antar peraturan perundang-undangan tidak terwujud, maka akan terjadi tumpang tindih sehingga tidak tercapai tujuan hukumnya. Di Indonesia, omnibus law dipahami sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang sama dengan istilah payung dimana payung sering dimaknai dengan ‘induk’ dari undang-undang lainnya atau dengan kata lain, omnibus law adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Sehingga, kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang ‘anaknya’ dan lebih dahulu ada. Hal ini tidak dikenal dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun keberadaan omnibus law tidak bertentangan dengan UU No.12 Tahun 2011 dan perubahannya sepanjang materi muatan yang diatur omnibus law sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut.

Keberadaan UU sebagai jenis peraturan perundang-undangan menunjukkan bahwa setiap undang-undang memiliki kedudukan yang sama di bawah UUD 1945 dan ketetapan MPR. Namun, dengan adanya UU yang dibentuk melalui metode omnibus law, secara tidak langsung memposisikan UU omnibus law berada lebih tinggi secara hierarki dibanding dengan UU sektoral karena pembentukan UU omnibus law akan menghasilkan undang-undang payung. Pada akhirnya, keberadaan omnibus law akan memberikan banyak manfaat dan keuntungan, di antaranya dapat mengatasi persoalan kriminalisasi pejabat negara dan dapat sebagai penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi.

Di balik janji gemilang teknologi stem cell, tersembunyi labirin kompleks tantangan hukum dan etika yang harus kita navigasi dengan hati-hati. Seperti Theseus menghadapi Minotaur, para pembuat kebijakan dan ahli hukum harus menghadapi dilema-dilema rumit yang muncul dari perkembangan pesat di bidang ini.

Pertama, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar tentang sumber stem cell. Embryonic stem cell, yang diperoleh dari embrio manusia tahap awal, memicu perdebatan etis yang sengit. Di satu sisi, potensi terapeutiknya luar biasa; di sisi lain, penggunaannya menimbulkan kekhawatiran moral mendalam. Bayangkan seorang filsuf yang terjebak antara kewajiban menyelamatkan nyawa dan prinsip kesucian hidup. Haruskah kita mengorbankan embrio demi potensi pengobatan? Atau apakah ada batas yang tidak boleh kita lewati dalam pencarian ilmiah?

Selanjutnya, kita memasuki arena hak kekayaan intelektual yang penuh ranjau. Penemuan terkait stem cell seringkali melibatkan investasi waktu dan sumber daya yang besar. Para peneliti dan perusahaan bioteknologi menuntut perlindungan paten untuk inovasi mereka. Namun, bagaimana kita menyeimbangkan insentif untuk inovasi dengan kebutuhan akan akses yang luas terhadap teknologi yang berpotensi menyelamatkan nyawa? Ini seperti menyusun puzzle rumit, di mana setiap potongan mewakili kepentingan yang berbeda – dari hak inventor hingga kepentingan publik.

(*)

* Suci Hartati adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

3 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com