Kajian Hukum terhadap HKI Lagu Ciptaan Kecerdasan Buatan

Oleh: Eddhie Praptono*

Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence atau AI) telah menjadi salah satu teknologi terdepan yang mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dalam industri musik. Perkembangan AI telah membawa dampak yang signifikan dalam penciptaan, produksi, distribusi, dan pengalaman pendengar musik. AI telah mengubah cara musisi dan produser bekerja, dan juga memberikan pengalaman pendengar musik yang lebih personal dan inovatif (Muchlas Syahlanisyiam, 2023).

Kemajuan teknologi AI telah membawa revolusi dalam berbagai bidang, termasuk industri musik. Dengan kemampuan AI dalam menghasilkan karya musik yang menyerupai ciptaan manusia, muncul pertanyaan mengenai kepemilikan hak kekayaan intelektual (HKI) terhadap lagu ciptaan AI. Hal ini menjadi topik yang semakin penting untuk dikaji mengingat potensi dampaknya terhadap hukum dan industri musik. HKI, khususnya hak cipta, telah lama menjadi dasar perlindungan bagi karya-karya kreatif manusia, termasuk musik (Zaldy Salim Mhd. Hamid dan Rianjani Rindu R, 2024). Namun, dengan hadirnya AI yang mampu menciptakan lagu secara mandiri, terdapat kekaburan mengenai siapa yang sebenarnya memiliki hak cipta atas karya tersebut.

Dalam konteks hukum saat ini, hak cipta umumnya diberikan kepada pencipta individu atau kelompok yang telah menciptakan suatu karya secara langsung. Namun, AI tidak dapat dianggap sebagai pencipta dalam pengertian hukum yang berlaku saat ini karena AI merupakan teknologi yang tidak memiliki kapasitas hukum untuk memiliki hak cipta. Salah satu pendekatan yang dapat dipertimbangkan adalah memberikan hak cipta atas lagu ciptaan AI kepada pengembang atau pemilik sistem AI tersebut.

Argumen yang mendukung pendekatan ini adalah bahwa pengembang atau pemilik AI telah melakukan investasi dan upaya dalam menciptakan sistem AI yang mampu menghasilkan karya musik. Di sisi lain, terdapat pandangan bahwa memberikan hak cipta kepada pengembang atau pemilik AI dapat menimbulkan masalah etis dan hukum. Pengembang atau pemilik AI hanya berperan sebagai fasilitator, sedangkan proses penciptaan sebenarnya dilakukan oleh AI secara mandiri tanpa campur tangan manusia secara langsung.

Pendekatan lain yang dapat dipertimbangkan adalah memperlakukan lagu ciptaan AI sebagai karya yang berada di ranah publik (public domain). Artinya, lagu tersebut dapat digunakan secara bebas oleh siapa pun tanpa adanya pembatasan hak cipta. Namun, pendekatan ini dapat menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya insentif bagi pengembangan AI di bidang musik karena tidak adanya perlindungan hak cipta. Selain itu, terdapat kemungkinan untuk menciptakan rezim hukum baru yang khusus mengatur masalah hak cipta atas karya ciptaan AI. Rezim hukum ini dapat menetapkan aturan dan kriteria tertentu untuk menentukan kepemilikan hak cipta atas karya ciptaan AI, seperti pembagian hak cipta antara pengembang AI dan pengguna AI, atau pemberlakuan sistem lisensi khusus.

Dalam mengkaji masalah ini, perlu dipertimbangkan pula dampak potensial terhadap industri musik. Jika lagu ciptaan AI dianggap sebagai karya yang berada di ranah publik, hal ini dapat mempengaruhi pendapatan dan insentif bagi musisi dan pencipta lagu manusia. Sebaliknya, jika hak cipta diberikan kepada pengembang atau pemilik AI, ini dapat membatasi akses dan pemanfaatan lagu ciptaan AI oleh musisi dan pencipta lagu manusia.

Kajian mengenai hak cipta atas lagu ciptaan AI juga perlu mempertimbangkan perkembangan teknologi di masa depan. Seiring dengan kemajuan AI, mungkin saja nantinya AI akan memiliki kemampuan yang lebih canggih dalam menciptakan karya musik yang lebih kompleks dan bahkan menyerupai karya manusia secara lebih mendalam. Dalam menghadapi perkembangan ini, diperlukan kerangka hukum yang fleksibel dan adaptif agar dapat mengikuti perkembangan teknologi AI di bidang musik. Kerangka hukum ini harus dapat menjaga keseimbangan antara memberikan perlindungan hak cipta yang memadai dan mendorong inovasi dalam pengembangan AI untuk musik. Selain itu, kajian mengenai hak cipta atas lagu ciptaan AI juga perlu mempertimbangkan aspek etika dan nilai-nilai sosial yang terkait. Misalnya, apakah pantas untuk memberikan hak cipta atas karya seni kepada mesin AI? Bagaimana dampak dari pemberian hak cipta kepada AI terhadap kreativitas dan ekspresi seni manusia?

Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, perlu adanya dialog dan diskusi terbuka antara berbagai pemangku kepentingan, seperti pengembang AI, musisi, pencipta lagu, industri musik, akademisi, dan pembuat kebijakan. Hanya dengan keterlibatan dan kolaborasi yang luas, solusi yang adil dan komprehensif dapat ditemukan. Kajian mengenai hak cipta atas lagu ciptaan AI juga dapat menjadi pintu masuk untuk membahas isu-isu yang lebih luas terkait dampak AI terhadap hukum dan masyarakat. Hal ini mencakup pertanyaan tentang bagaimana menyeimbangkan perlindungan hak cipta dengan dorongan untuk inovasi, dampak AI terhadap pekerjaan dan mata pencaharian manusia, serta tanggung jawab hukum dan etika dalam pengembangan dan penggunaan AI.

*Dikutip dari berbagai sumber. Dengan demikian, kajian hak cipta atas lagu ciptaan AI bukanlah sekadar masalah hukum semata, melainkan juga melibatkan aspek teknologi, ekonomi, sosial, dan etika yang saling terkait. Diperlukan pendekatan yang holistik dan multidisiplin untuk menemukan solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak yang terlibat. Pada akhirnya, kajian ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi AI telah membawa tantangan baru yang memerlukan penyesuaian dan pembaruan dalam kerangka hukum dan regulasi yang ada. Dengan diskusi dan kolaborasi yang berkelanjutan, kita dapat menemukan solusi yang seimbang dan mendorong kemajuan teknologi AI di bidang musik sambil tetap melindungi hak-hak dan kepentingan para pencipta lagu manusia.

*Dikutip dari berbagai sumber.

 *Eddhie Praptono adalah Dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Pancasakti Tegal.

43 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com