Menuju Peradilan Modern dan Tangguh

Oleh: Ahmad Fitri*

Mahkamah Agung menunjukkan lonjakan kemajuan yang sangat signifikan. Dengan mengusung paradigma digitalisasi, Mahkamah Agung telah merespon kemajuan teknologi informasi dengan meluncurkan berbagai kanal layanan yang serba digital. Langkah tersebut tidak lain adalah sebagai manifestasi dari amanat Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Pengadilan berkewajiban membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya tiga kriteria tersebut. Jika menurut Ketua Mahkamah Agung, Muhammad Syarifuddin, pengembangan pengadilan ke arah digitalisasi adalah sebagai langkah nyata untuk menampik kesan dan pengalaman masyarakat bahwa layanan peradilan adalah lambat (delay).

Salah satu produk inovatif dan futuristik yang diluncurkan oleh Mahkamah Agung adalah e-Court, yaitu sebuah aplikasi pemprosesan administrasi perkara dan persidangan secara elektronik. Proses pelayanan administrasi perkara yang semula dilakukan secara manual dan datang ke pengadilan, kini melalui e-court bisa dilakukan secara mandiri dan kapan pun dengan bantuan perangkat elektronik (komputer atau handphone) yang terhubung dengan jaringan internet.

Kemudahan yang disuguhkan oleh e-Court terlihat dari beberapa fitur yang dilekatkan, antara lain proses pendaftaran perkara (e-filing), metode pembayaran online (e-payment), pemanggilan sidang atau pemberitahuan (e-summon), dan proses persidangan yang dilakukan secara elektronik (e-litigation). Tidak hanya itu, masyarakat atau para advokat juga dapat memperoleh salinan putusan pengadilan berupa soft file dengan mengunduh langsung dari laman e-Court, yang keabsahannya telah diakui dengan dibubuhkannya tanda tangan elektronik Panitera pengadilan setempat. Tidak hanya itu, e-Court juga dikembangkan untuk pelayanan administrasi upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali. Manfaat dari lahirnya aplikasi pendukung proses peradilan tersebut dapat dirasakan baik oleh pihak masyarakat pencari keadilan, maupun oleh pihak Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya.

Terobosan e-Court membawa perubahan dari konsep paper based menjadi paperless, dari pelayanan fisik menjadi pelayanan elektronik, dan dari transaksi pembayaran secara cash menjadi cashless. Banyak keuntungan diperoleh ketika masyarakat tidak lagi dibebani dengan persyaratan pelayanan yang membutuhkan banyak kertas, seperti penggandaan berkas perkara dan sejenisnya. Paling tidak beban pengeluaran para pihak sedikit terpangkas dari sisi ini. Pelayanan yang semula bersifat langsung, harus tatap muka dengan mendatangi kantor pengadilan, kini digantikan dengan metode pelayanan elektronik, dapat dilangsungkan dari jarak jauh, menggunakan bantuan teknologi informasi. Pelayanan peradilan menjadi lebih sederhana, cepat, dan efisien.

Perjalanan lembaga penegakan hukum di Indonesia, termasuk Mahkamah Agung pastinya tidak ada yang luput dari sebuah hambatan atau “kesalahan”. Hambatan-hambatan dalam penegakan hukum mungkin dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana yang belum memadai, jumlah sumberdaya aparatur yang terbatas, atau seputar kurang optimalnya pemberian akses pelayanan kepada masyarakat. Hambatan yang demikian dapat dikatakan beasal dari faktor eksternal aparatur. Sedangkan sebuah “kesalahan” dapat dikatakan berasal dari internal aparatur, yang mencerminkan sebuah kondisi tidak terpenuhinya nilai yang harusnya dipegang teguh untuk mencapai tujuan, yaitu antara lain profesionalisme dan integritas aparatur. Sebuah “kesalahan” terkadang juga karena adanya dorongan atau semacam “godaan” dari luar.

Bagi Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di bawahnya, digitalisasi pelayanan dapat dijadikan sebagai sebuah tool yang sangat handal untuk menghilangkan hambatan, sekaligus meminimalisir dan memperbaiki “kesalahan” guna menjaga profesionalisme dan integritas aparatur demi mengembalikan kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Sebagai contoh, penerapan e-court di pengadilan, merupakan salah satu bentuk upaya untuk menegakkan kode etik dan pedoman perilaku aparatur pengadilan. Pelayanan administrasi perkara yang bisa dilakukan secara elektronik, dapat menghilangkan celah “pertemuan” antara para pihak yang berperkara dengan aparatur pengadilan yang berkaitan langsung dengan proses penyelesaian perkara maupun aparatur yang tidak terkait langsung. Aplikasi e-court juga menghadirkan metode pembayaran cashless. Sistem ini diharapkan dapat menunjukkan tranparansi keuangan dan akuntabilitas penyelenggara pemerintahan. Biaya pelayanan di pengadilan secara transparan bisa dipantau oleh publik. Di sisi lain, cashless dapat mencegah praktek korupsi, gratifikasi, dan pungutan liar.

Di Mahkamah Agung, telah diterapak aplikasi Smart Majelis. Yaitu aplikasi yang menggunakan kecanggihan AI (Artificial Intelligent) dalam penunjukan Majelis Hakim yang akan memeriksa perkara Kasasi dan Peninjauan Kembali. Dengan penerapan aplikasi ini, penunjukan majelis hakim di Mahkamah Agung bisa lebih objektif, transparan, dan akuntable, sehingga setiap perkara kasasi/PK ditangani secara cepat, dan oleh hakim yang tepat kompetensi keilmuannya.

Transformasi konsep dan sistem pelayanan ke era digital adalah suatu hal yang wajib sebagai jawaban atas perkembangan global. Demikian juga sebagai respon dari habit masyarakat yang sudah sangat akrab dengan sentuhan-sentuhan serba digital dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat seolah menuntut agar dunia pengadilan juga menyuguhkan “menu” pelayanan yang bisa “dipesan” bahkan dirasakan hasilnya cukup melalui media digital yang ada di genggaman.

Terlepas dari kemasan “menu” pelayanan yang diberikan oleh pengadilan, yang tidak kalah pentingnya adalah tuntutan masyarakat kepada pengadilan terkait substansi pelayanan. Pengadilan adalah lembaga yag diberi amanat oleh Pemerintah untuk menegakkan hukum dan keadilan. Dan di sanalah, inti harapan masyarakat akan keadilan ditambatkan.

Substansi tersebut tentunya tidak diabaikan oleh Mahkamah Agung. Tegaknya keadilan adalah tujuan akhir yang tidak boleh tidak harus diwujudkan dalam setiap penyelesaian sengketa. Perubahan konsep dan cara memberikan pelayanan tidak mengubah substansi dari sebuah pelayanan, meskipun dengan beberapa perubahan dalam hukum acara. Pun demikian, persidangan yang dilakukan tanpa tatap muka, tidak mengurangi muatan, kualitas pemeriksaan dan profesionalisme para hakim dan aparatur pengadilan.

Konsep baru dalam law enforcement dari metode konvensional ke digital ini diharapkan sebagai perubahan wajah yang positif bagi Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya guna memberikan pelayanan yang prima. Harapannya, kepuasan yang diperoleh masyarakat dari pengadilan semakin terdongkrak. Percepatan dan penyederhanaan proses penyelesaian sengketa pun tetap menjunjung tinggi profesionalisme dan integritas, sehingga putusan yang dihasilkan akan berkualitas dan betul-betul menghadirkan ruh keadilan. Jika kedua sisi, pelayanan prima dan putusan berkualitas dapat diwujudkan, maka ibarat manusia, dunia peradilan memiliki kepribadian yang baik secara lahir maupun batin (inner self dan outer self) dan tangguh menghadapi perubahan zaman dan “godaan” dengan tetap menjaga kesalehannya. “Dirgahayu ke-79 Mahkamah Agung Republik Indonesia”

* Ahmad Fitri adalah Panitera Pengganti Pengadilan TUN Gorontalo

58 / 100

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com