Solusi Agama Islam Menata Bangsa dengan Menyegarkan Kembali Budaya Tertib

Oleh: Alin Fithor*

SEJAK proklamasi kemerdekaan hingga saat ini tentu kita sebagai warga negara telah banyak mendapatkan pengalaman yang  dapat dipetik tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam negara Republik Indonesia, pedoman acuan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara itu adalah nilai-nilai dan norma-norma yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dan desain bagi terbentuknya kebudayaan nasional.
Perubahan dapat diketahui jika ada sebuah penelitian dari susunan kehidupan masyarakat pada suatu waktu dengan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, kaidah kaidah sosial serta lapisan dalam masyrakat.

Menurut pendapat Abdul Manan, seorang pemandu kaidah pengubah hukum, masyarakat senantiasa mengubah dan mengalami perubahan, dapat berupa tatanan sosial, budaya ekonomi dan lainnya. Pengaruh-pengaruh inilah yang dapat mengubah perubahan-perubahan sosial dalam sistem pemikiran islam. Pada dasarnya hal tersebut melupakan pengangkatan aspek lokalitas dan temporalitas ajaran islam, tanpa mengabaikan aspek unversalitas dan keabadian dari agama islam itu sendiri.

Acuan kehidupan bernegara (governance) dan kerukunan sosial (social harmony) menjadi berantakan dan menumbuhkan ketidakpatuhan sosial (social disobedience). Dari sinilah berawal tindakan-tindakan anarkis, pelanggaran-pelanggaran moral dan etika, tentu pula tak terkecuali pelanggaran hukum dan meningkatnya kriminalitas
Kebudayaan meneurut seorang sosiolog, Sodjono Dirdjosiswono didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Sebagai pengetahuan, kebudayaan adalah suatu satuan ide yang ada dalam kepala manusia dan bukan suatu gejala (yang terdiri atas kelakuan dan hasil kelakuan manusia).

Budaya Menghargai Pendapat Orang Lain

Mengalahkan egoisme pribadi merupakan sikap dimana belajar toleran terhadap pendapat orang lain. Betapa pentingnya menjalankan hidup penuh toleransi ditengah-tengah kemajemukan, mau mendengar dan menerima pendapat orang lain, lalu mempertimbangkannya secara cermat.

Manakala pendapat orang itu lebih tepat, benar, dan mendasar, sementara pendapat kita sendiri tidak demikian, maka hendaklah mengakui dan menerimanya dengan kebesaran hati, apa lagi pendapat tersebut didukung dengan fakta dan bukti yang kuat, sehingga tidak ada alasannya bagi kita untuk tidak menerima argumentasi tersebut, disinilah dibutuhkan kearifan dan kebesaran jiwa.

Menjalin persahabatan dengan orang-orang egois, tidaklah salah kalau niat kita untuk mengingatkannya ukuran pergaulan hidup antar sesama manusia pada hakikatnya bukanlah diukur dari menang-menangan, atau siapa yang kuat dialah yang paling benar dan yang paling berpengaruh omongannya lah yang paling didengar. Sama sekali tidaklah demikian, anak kecil yang berkata benar saja pendapatnya perlu didengar, seperti yang dikatakan orang bijak, Jangan lihat siapa yang mengatakan, tetapi perhatikanlah apa yang dikatakan.

Budaya Tertib Lalu Lintas

Tertib berlalu lintas sebagai jembatan dan proyeksi pribadi seseorang, diukur dari skala kematangan usia yang hakikatnya dijalani oleh setiap manusia. Terlebih dari skala pengajaran orangtua kepada anak, dan anak dari lingkungan sekitar. Budaya tertib lalu lintas ialah salah satu elemen pendukung segala segi kehidupan.
Penemu lampu lalu lintas adalah Lester Farnsworth wire seorang mahasiswa dan berkecimpung dalam tata kelola lalu lintas fakultas hukumUniversitas of Utah di tahun 1810 di Cleveland, Amertika Serikat. Awal penemuan ini diawali ketika suatu hari ia melihat tabrakan dua kendaraan. Kemudian ia berpikir bagaimana cara menemukan suatu pengatur lalu lintas yang lebih aman dan tertib. Sebenarnya ketika itu telah ada sistem perngaturan lalu lintas dengan stop dan go. Sinyal lampu ini pernah digunakan di Inggris tepatnya di kota london pada tahun 1863. Namun, pada penggunaannya sinyal lampu ini tiba-tiba meledak, sehingga tidak dipergunakan lagi.

Penemuan ini memiliki peluang yang cukup besar bagi pengaturan lalu lintas, ia menciptakan lampu lalu lintas berbentuk huruf T. Lampu ini terdiri dari tiga lampu, yaitu sinyal stop (ditandai dengan lampu merah), go (lampu hijau), posisi stop (lampu kuning). Lampu kuning inilah yang memberikan interval waktu untuk mulai berjalan atau mulai berhenti. Lampu kuning juga memberi kesempatan untuk berhenti dan berjalan secara perlahan.

Lampu lalu lintas dengan warna merah memiliki makna yaitu warna darah(dimana itu adalah segala sesuatu terkait kematian yang mengerikan dan mengenaskan)-dilihat dari sisi inilah warna merah sebagai warna yang harus berhenti. Warna kuning dapat diibaratkan sebagai warna buangan pencernaan kita yang bisa diibaratkan sebagai kehati-hatian dalam mencerna. Lalu terakhir adalah warna hijau yang melambangkan kemakmuran yang menyejukkan pandangan hati seorang manusia.

Fenomena yang terjadi pada bangsa ini kita menemukan banyak pengendara lalu lintas yang kesemuanya belum begitu taat dan tertib, itu adalah kurangnya tertib sebagai budaya. Semisal, seorang pengendara yang menambah kecepatan kendaraannya ketika lampu berwarna kuning (toh, itu merupakan kesempatan terakhir).

Budaya Saling Menjatuhkan

Era reformasi tahun 1998 merupakan salah satu era kebangkitan dari dalam Negeri Republik Indonesia ini. Reformasi yang menghasilkan perubahan tata kelola yang matang dengan konsep yang terbaik. Muncullah cara bagaimana menjatuhkan atau menenggelamkan orang yang kemudian ingin memunculkan dirinya sendiri dengan mencari-cari kesalahan orang lain.

Tanpa disadari budaya inilah yang dapat membuat kita menutup mata selama kita tinggal di Indonesia. Mau tahu jawabnya? Tanya kepada diri sendiri. []

*Penulis Adalah Mantan Aktivis HMI Cabang Semarang 2008-2013

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com