Ketika Presiden Tak Lagi Punya Power

JAKARTA – Ada hal yang menarik sekaligus miris dari kasus kriminalisasi KPK yang melibatkan instansi Kepolisian dengan para pimpinan KPK. Kasus yang berawal dari tidak ‘direstuinya’ Budi Gunawan sebagai Pimpinan Polri tersebut secara bertahap telah menyeret beberapa pimpinan KPK yang dulu vokal menolak BG. Sebut saja dari yang pertama Bambang Wijayanto, menyusul kemudian Abraham Samad dan kini Novel Baswedan. 

Ketiganya lantas menjadi pusat perhatian publik karena dinilai menjadi korban dari kriminalisasi terhadap KPK yang sebelumnya menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri karena disebut-sebut terindikasi korupsi. Namun belakangan, BG memenangi praperadilan sehingga terbebas dari segala tuduhan KPK. Sial buat KPK, kasusnya kini terus berlanjut dan bahkan menyeret satu persatu pimpinan KPK. Sementara Budi Gunawan, meski tidak sukses menjadi Kapolri namun berhasil menjadi Wakapolri.

Yang menarik sakligus miris dari kasus ini bukan lagi sekedar kasus kriminalisasinya, melainkan adanya kecenderungan tidak diindahkannya instruksi Presiden oleh instansi penegak hukum di Indonesia tersebut. Yang pertama, terkait pelantikan BG yang seolah-olah telah melangkahi sang Presiden. Sebagaimana diketahui Presiden tidak lagi merekomendasikan BG sebagai Pimpinan Polri karena ditentang banyak kalangan akibat track record BG dinilai tidak bersih dari masalah. Namun pasca pelantikan Badaroddin Haiti sebagai Kapolri, nyatanya BG dilantik sebagai Pimpinan Polri meski sebagai Wakpolri. Hal itu oleh sebagian kalangan dianggap pelecehan terhadap Presiden.

Hal itu seperti diungkap oleh Dosen Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Ade Armando. “Dalam tanda kutip pelantikan ini sudah melecehkan Presiden. Saya kira di tengah kepolisian sedang membutuhkan citra positif, justru membuat keputusan yang menyakitkan hati,” pungkas Ade saat memberikan keterangan terkait pelantikan BG beberapa waktu yang lalu.

“Nama itu (Budi Gunawan) adalah orang yang dianggap Jokowi batal dilantik karena ada persoalan,” kata Ade.

Yang kedua, soal presiden yang menginstruksikan Polri untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK. Melalui Mentri Sekretaris Negara, Pratikono, Presiden Jokowi disebut sudah dari awal menginstruksikan agara kriminalisasi terhadap KPK dihentikan. “Sudah dari awal Presiden mengatakan stop, enggak boleh ada kriminalisasi,” pungkas Pratikno pada sebulan yang lalu. Namun nyatanya, sampai saat ini instansi kelpolisian bahkan ‘bersemangat’ untuk membui Abraham Samad dan juga Novel Baswedan.

Sementara yang ketiga, permintaan Presiden Jokowi untuk tidak menahan Novel Baswedan pun dirasa tidak terlalu diperhatikan oleh instansi Kepolisian. Bahkan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Budi Waseso menanggapi permintaan Presiden tersebut justru meminta balik agar semua pihak saling menghormati proses hukum yang dilakukan Polri.

“Tolonglah, kita saling menghormati proses penegakan hukum. Kita ini, kan, mengikuti aturan hukum. Jangan lebay-lah,” tegas Waseso menanggapi permintaan Presiden Jokowi pada Jum’at (01/05/2015) kemarin.

Situasi tersebut mengundang keprihatin akan kharisma dan pengaruh Presiden Jokowi dimata para bawahannya. Presiden yang dalam UUD 1945 juga disebut sebagai panglima tertinggi angkatan perang Indonesia sudah seharusnya memiliki “power” yang lebih kuat dari yang tampak saat ini.

“Terlepas dari masalah KPK dan instansi Kepolisian, harusnya Presiden memang punya power yang lebih dari yang tampak saat ini,” pungkas pengamat komunikasi, Nuruddin Alamsyah kepada Jogjakartanews.com, Sabtu (02/05/2015)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com