Keluarga Besar Marhaen RDPU Dengan DPRD DIY Bahas Pendidikan

YOGYAKARTA – Dewan Pimpinan Propinsi Keluarga Besar Marhaen Daerah Istimewa Yogyakarta ( DPP KBM DIY ) dan Masyarakat Bela Negara mengikuti Rapat Dengar Pendapat Pandangan Umum (RDPU) DPRD DIY, Senin 09/10/2017). Dalam rapat yang dipimpinan Ketua DPRD DIY, Yoeke Indra Agung Laksana tersebut, KMB menyoal problem pendidikan di DIY.

Koordinator Perwakilan KBM, Agus Subagyo mengungkapkan, saat ini banyak pelajar di DIY yang terlibat masalah hukum. Selain itu, ada indikasi sekolah-sekolah negeri yang siswanya menjurus kepada tindakan intoleran yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Menurutnya, hal itu tidak lepas dari kondisi bangsa Indonesia secara keseluruhan.  Sebab, kata dia, akhir-akhir ini konflik Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA) tiba tiba menerobos tanpa diundang dalam kehidupan kita di Negeri Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir ini.

“Negeri yang kita cintai ini sekonyong menjadi bahan berita seluuruh  jagad. Karena konfliknya hingga berbagai multidimensional diantara sesama saudara. Dari konflik SARA yang bernuansa politik  hingga terorisme. Bibit konflik ini nampaknya juga menjangkit di kalangan pelajar di DIY. Apakah lembaga pendidikan ini tengah mengalami berbagai situasi konflik? Andaikata ini terjadi sudah seharusnya kita semua berjaga waspada dan menjaga.  Kejadian-kejadian  itu jika dibiarkan pastilah pada awal-awal ambang keretakan Bangsa. Marilah kita mencegahnya,” ungkap Agus dalam rapat yang juga dihadiri perwakilan Kepala Dinas Pendidikan  DIY beserta Kepala-Kepala Dinas Pendidikan di lima Kabupaten/ Kota se DIY.

Banyak masukan dan informasi dari KBM maupun Masyarakat Bela Negara, terutama yang berkaitan dengan aksi kekerasan hingga intoleransi pelajar di sekolah. RDPU Juga menghadirkan nara sumber Ketua Ikatan Alumni Lemhannas DIY, Sugiyanto Harjo Semangun dan Pakar Pendidikan, Prof. Dr. Wuryadi untuk dimintai pendapat dan solusi atas persoalan pendidikan di DIY.

Menurut Prof. Dr. Wuryadi, berbagai masalah pelajar di DIY bukan melulu kesalahan pelajar. Sebab, ada yang perlu dibenahi dalam sistem Pendidikan di Indonesia. Era Bung Karno, kata dia, ada konsep nation and character building yang dijalankan bersama-sama secara simultan, namun sejak  tahun 70-an diganti state building, sehingga pelajar kehilangan karakter kebangsaan.

“Kita menjadi  bangsa formalnya sejak Sumpah Pemuda 28 oktober. Kita Punya Bangsa sekaligus Negara, beda dengan misalnya negara Singapura punya negara tapi belum punya bangsa. Belum pernah terdengar deklarasi kabangsaan Singapura. Ini yang belum disadari oleh guru-guru kita, sehingga karakter yang diajarkan kepada siswa belum sampai kepada karakter kebangsaan. Jadi tidak heran jika ada pelajar yang terlibat kriminalitas, berperilaku intoleran dan hedon,” katanya.

Dikatakan Prof. Wuryadi, kurikulum 13 (tahun 2013, red) juga faktanya tidak bisa diterapkan di semua daerah. Dia mencontohkan sebuah sekolah di Papua, dimana mahasiswanya menjadi guru. Di sana, kata dia, siswanya berjumlah  31 orang sementara guru hanya 2, kepala sekolah dan mahasiswanya tersebut.

“Sekolah ini kalau diterapkan kurikulum 13 jelas tidak bisa,” tuturnya.

Pemberlakuan desentarlisasi yang terlampau ketat, menurutnya tidak efektif. Ia menawarkan pola devolusi, yaitu tidak terlampau sentralistik tapi tidak juga tidak terlalu desentralistik dimana ada bagian yang diserahkan kepada pusat secara proporsional.

“Kita menganut demokrasi Pancasila, berdasarkan mufakat atau kesepakatan. Maka apapun yang terjadi bisa diambil jalan tengah dengan kesepakatan misalnya kepala sekolah, guru dan orang tua siswa. Dinas-dinas sudah mulai merubah paradigma bahwa apa yang diinstruksikan Kemendikbud harus dilaksanakan, karena tidak semua daerah bisa,” ujarnya.

Sementara Ketua Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) DIY, Sugiyanto Harjo Semangun mengungkapkan, sebagai solusi mengatasi anarkisme, radikalisme, dan sikap intoleran di kalangan pelajar perlu merevitalisasi Pendidikan Pancasila.  Menurutnya, ada disorientasi nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi bangsa mulai runtuh, eksistensi Pancasila mengalami kemunduran, bahkan cenderung diabaikan dari realitas berbangsa dan bernegara.

“Hal ini terjadi karena pemahaman yang salah tentang Pancasila, pemahaman pancasila yang dangkal yaitu mengidentikan Pancasila dengan orde-baru. Hipotesisnya, Karena orde-baru runtuh, maka Pancasila harus runtuh, sebab Pancasila adalah produk orde-baru. Yang menyedikan argumen tersebut tidak hanya berkembang di tengah masyarakat, melainkan juga menjalar pada dunia pendidikan, terutama di masa awal reformasi. Pendidikan Pancasila dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi sangat minim,” tegasnya.

Menanggapi hal tersebut Ketua DPRD DIY Yoeke  Indra Agung Laksana mengatakan, sebenarnya DIY sudah memiliki Perda tentang Pendidikan Berbasis Budaya DIY. Mendengar temuan dan masukan dari KBM, Youke mengaku prihatin,

“Kita sudah punya Perda tentang Pendidikan berbasis Budaya DIY. Budaya DIY kan adiluhung, seharusnya kan lebih ramah dan lebih beradab. Apapun yang menjadi masukan dari KBM dan Bela Negara akan menjadi bahan pertimbangan kami dan Dinas Pendidikan DIY beserta Dinas Pendidikan kabupaten dan kota se DIY yang hadir dalam rapat saat ini,” katanya didampingi Ketua Komisi D DPRD Suwardi. (kt1)

Redaktur: Rudi F

 

 

 

 

 

 

58 / 100

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com