Supremasi Politik Halangi Penegakkan Hukum, ICM Tegaskan Jokowi Bukan Panglima Pemberantasan Korupsi

YOGYAKARTA – Direktur Indonesian Court Monitoring (ICM), Tri Wahyu, menyebut, pemerintahan presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan menegakkan supremasi hukum apalagi keadilan. Hal itu menurutnya karena pemerintah hanya mengedepankan pembangunan infrastruktur yang terkesan untuk kepentingan Pemilu 2019,

“Supremasi Politik (Bukan Hukum Apalagi Keadilan) dan Pelibatan Aparat Penegak Hukum Dalam Pembangunan Infrastruktur “Kejar Tayang” Pemilu 2019 Oleh Rezim Nawa Cita Hambat Pemberantasan Korupsi di Indonesia,” ujarnya dalam keterangan pers di Yogyakarta, Senin (09/12/2018).

Dikatakan Tri, dalam peringatan hari anti korupsi nasional 2018 yang dilaksanakan di Jakarta pada 4 Desember 2018, yang lalu, Jokowi menyampaikan sejumlah hal antara lain bahwa ia ingin gerakan antikorupsi menjadi sebuah gerakan bangsa yang dilakukan institusi negara, civil society dan masyarakat luas.

Selain itu, kata Tri, dari segi kebijakan dalam memberantas korupsi, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi di mana KPK menjadi koordinator. Pemerintah menerbitkan juga Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

“Sistem pengaduan masyarakat, seperti Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli), kata Jokowi, juga disambut antusias masyarakat. Hal itu terbuti dari jumlah aduan yang masuk lebih dari 36 ribu aduan,” ujar Tri.

Namun demikian Tri menilai kebijakan Jokowi tersebut belum menunjukkan hasil yang diharapka.Terkait Saber Pungli, ICM memaparkan data dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Diantaranya, kata Tri, OTT terhadap TPR Parangtritis tapi sampai sekarang tidak jelas penangannya,

“Ada laporan dari Warga terdampak bandara NYIA di Kulon Progo terkait pungli dana kompensasi pembangunan bandara NYIA hingga rautusan juta sampai sekarang publik juga tidak tahu progres oleh aparat penegak hukum utamanya kepolisian dan kejaksaan,” tandasnya.

ICM menduga tidak jelasnya progres proses hukum pungli dalam pembangunan bandara NYIA, karena aparat penegak hukum juga masuk dalam Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Pusat (TP4P) dan Daerah (TP4D), sehingga sulit independen dalam penegakan hukum anti korupsi.

Data ICM juga menunjukkan Supremasi Politik juga masih menggelayuti aparat penegak hukum dalam penanganan proses hukum kasus korupsi dana hibah Persiba Bantul. Penghentian kasus korupsi yang menjerat tersangka elit partai penguasa tersebut ditengarai karena kejati DIY takut dipraperadilankan PH tersangka.Hal itu kata, dia, menunjukkan aparat penegak hukum “tidak steril” dari supremasi politik. Upaya masyarakat sipil melaporkan kasus SP3 tersebut dengan turun langsungnya Tim Jamwas Kejaksaan Agung ke Yogyakarta hingga sekarang tidak ada juntrungnya,

“Belum ada 1 pun kasus yang ditindak langsung KPK di DIY. Pimpinan KPK di Februari 2018 menyatakan ada 192 laporan kasus klorupsi yang masuk ke KPK dari DIY Ada 26 laporan yang sudah ditelaah. Data sebanyak itu dikemanakan ? Data supervisi kasus korupsi dana hibah persiba trus dikemanakan ? Kecurigaan wajar publik sampaikan juga ke KPK karena ada Pimpinan KPK yang dulu bertugas di KPK saat ada kasus korupsi dana hibah persiba, sekarang menjadi caleg partai penguasa,” Beber Tri

Selain Kasus di DIY, ICM juga mengkritisi kasus hukum tingkat nasional, diantaranya kasus pimpinan salah satu Parpol yang menjadi tersangka atas “sms pengancaman” terhadap aparat penegak hukum yang lagi memproses kasus korupsi pimpinan parpol tersebut. Begitu tersangka merapat ke kekuasaan Jokowi-JK, “hilang sudah” proses hukum terhadapnya.

Selain itu kasus Novel Baswedan yang belum tuntas dan Presiden Jokowi tidak punya kemauan tegas untuk membentuk TPF Novel. Menurut Tri, serangan terhadap Novel adalah juga serangan terhadap seluruh pegiat anti korupsi di Indonesia.  ICM juga menyayangkan KPK yang tidak jelas sikapnya dalam kasus dugaan korupsi hasil investigasi indonesialeaks.

Tri menyebut   Peran pers / media amat penting dalam pemberantasan korupsi sebagaimana fungsi tersebut ada di Pasal 3 UU Pokok Pers 40 tahun 1999 sebagai pengontrol kekuasaan / fungsi kontrol oleh pers.Hal itu, diperkuat Penjelasan umum UU Pers bahwa kontrol sosial pers untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasan baik korupsi, kolusi dan nepotisme maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.

“Media yang independen dan bukan partisan menjadi kawan bagi Warga dalam mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Kami mengajak media massa di nasional dan lokal tetap sebagai pilar ke-4 demokrasi dengan menjadi pengontrol kekuasaan dengan mengawal progres penanganan kasus korupsi di nasional dan lokal termasuk mendukung penuntasan kasus teror terhadap Novel dan serangan atau teror semacam terhadap pegiat anti korupsi,” imbuh Tri.

“Berdasar pandangan tersebut, ICM menyatakan  bahwa Presiden Joko Widodo bukan Panglima Pemberantasan Korupsi. Terakhir, tak layak kita ucapkan Selamat Hari Anti Korupsi 2018. Barangkali yang pas gambarkan situasi obyektif hari ini adalah Tidak Ucapan Selamat tapi Duka Hari Anti Korupsi 2018,” pungkas Tri Wahyu. (kt1)

Redaktur: Faisal

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com