Mengkritisi Budaya Santri di Pesantren

Oleh: M. Wisnu Abdul Qodir*

Sebutan santri sering diidentikkan pada orang yang sedang mendalami ilmu agama. Biasanya, pesantren itu tempat tinggal seorang santri yang menetap sampai pendidikan yang ingin diperoleh telah selesai. Bahkan, kebanyakan masyarakat saat mendengar kata-kata santri, langsung yang terbayang di otak adalah orang yang memakai sarung, kopyah atau peci, dan berbaju koko.

Bayangan yang seperti itu tidak bisa dianggap sepenuhnya salah. Karena santri yang ada di pondok, mayoritasnya berpenampilan seperti itu, terutama yang di pesantren tradisional. Sebenarnya, sebutan santri tidak hanya sekedar orang yang hidupnya di pesantren saja. Namun, juga bisa kepada siapapun yang belajar mengenai keagamaan dan mengikuti pemikiran dari figur seorang kyai yang menjadi pemimpin keagamaan.

Salah satu kegunaan pesantren adalah untuk membangun karakter seseorang. Walaupun kebanyakan yang diajarkan adalah ilmu keislaman, tapi tidak menutup kemungkinan ada pembelajaran lainnya. Contoh kecilnya, saat kita menjalani kehidupan bersosial antar sesama teman. Mereka diajarkan harus menjalani kehidupan kesehariannya dengan egaliter. Melihat persamaan nilai dan derajat antar sesama manusia di hadapan tuhan. Sehingga memandang seseorang berdasarkan pada tanggung jawab yang diemban, bukan sekedar setrata sosial atau jabatan belaka.

Tempat para santri yang ideal untuk mempelajari agama Islam yaitu di pesantren. Sebagian masyarakat percaya kalau anaknya akan lebih bagus dalam keagamaannya kalau ditempatkan di pesantren.

Dibuktikan dengan cara lewat gemblengan agama yang diajarkan dalam pesantren. Salah satu suri tauladan bagi seorang santri yaitu pengasuh pesantren (para kyai). Mereka percaya bahwa kyai adalah Warosatul anbiya” yang artinya generasi para robbani, yang bertugas untuk meneruskan perjuangan rosulullah. Begitupun juga selanjutnya, yang meneruskan para kyai untuk berjihat adalah santri-santri.

Para santri diharapkan akan bisa menjadi penerus perjuangan para ulama. Para santri dibina dan digembleng agar menguasai ilmu dibidang keagamaan dengan baik. Sehingga suatu saat kalau ulama meninggal, mereka akan bisa meneruskan ajaran agama Islam. Jika tidak ada yang meneruskannya, maka ajaran agama ini akan musnah. Karena pada dasarnya, semua manusia yang tidak bisa hidup kekal di dunia ini.

Biasanya, santri baru akan diajarkan mulai dari pelajaran yang dasar terlebih dahulu. Setelah bertambahnya hari, pembelajaran akan semakin ditingkatkan levelnya sampai para santri benar-benar telah memahaminya. Namun di lain sisi, dalam menjalankan kehidupan kesehariannya di pesantren, tidak jarang akan ada sebagian orang yang masih melakukan tindakan pengghosoban.

Mungkin, bagi sebagian orang istilah ghosob merupakan suatu hal yang asing ditelinga. Berbeda lagi, kebanyakan santri, mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah ghosob. Karena perbuatan ghosob sering terjadi dalam lingkup pesantren yang berbagai macam jenis dan bentuknya. Namun, yang marak atau populer terjadi di lingkungan pesantren yaitu mengghosob sandal.

Kebiasaan buruk yang semacam ini seolah-olah sudah menjadi suatu hal yang sangat lumprah. Seseorang dikatakan ghosop, apabila ia memakai atau menggunakan sesuatu tanpa sepengetahuan sang pemilik barang, meskipun pada nantinya akan dikembalikan lagi. Hampir dimanapun pesantren, pasti ada. Bahkan, seperti sudah menjadi sebuah budaya buruk tersendiri dalam lingkup pondok, sehingga tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja.

“Siapa yang cepat dan cerdik, maka dialah yang akan bersandal. Dan siapa yang lambat, maka dia akan kena begal.”

Pasti, hati akan bergejolak dan ingin marah karena saat keluar ruangan sandalnya sudah raib. Karena seperti hal itu, menjadi penghambat bergerak. Ok, mungkin masih dimaklumi jika yang di ghosob itu masih milik sesame santri. Tapi, bagaimana kalau ternyata barang yang di ghosob itu milik orang tua yang menjenguk anaknya, sehingga saat mau pulang harus menunggu sandal kembali, tentunya akan tercoreng nama baik pesantrennya.

Padahal sudah jelas dalilnya bahawa al-Ghosbu min al-Kabair yang artinya ghosob atau memakai barang orang lain tanpa izin yang punya itu adalah dosa besar. Perbuatan buruk yang sepele atau sekecil ini sudah dilarang oleh agama. Kenapa masih selalu dibudayakan?

Memang benar, ghosop merupakan sebuah perbuatan kejahatan yang terhitung ringan. Walaupun seperti itu, seharusnya tidak patut dianggap sepele saja, karena itu akan merugikan orang lain yang kena ghosob. Kalau tindakan ini selalu terjadi, dan terjadi lagi dalam suatu pesantren, maka masyarakat akan kecewa dan tidak akan percaya lagi, bahkan mereka akan menjastis bahwa perilaku ghosob memang sudah mendarah daging dan tidak akan bisa terhindarkan lagi, terutama di tempat pesantren.

Oleh karena itu, marilah bersama-sama untuk menjaga nama baik pondok pesantren. Dengan cara menghilangkan sifat yang buruk ini bersama-sama dan membiasakan diri untuk meminta izin terlebih dahulu saat mau meminjam barang kepada pemilik barang. Jika perilaku yang baik ini bisa berjalan dengan baik, di mulai dari diri sendiri dan lebih baik lagi jika bisa mengajak orang lain untuk mengamalkannya, maka seiring berjalannya waktu perilaku ghosob akan musnah dengan sendirinya. Wallahu alamu bi al-Shawab.(*)

*Penulis adalah Mahasiswa Akuntasi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com