Oleh : M Saifullah, jurnalis dan pemerhati sosial
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di forum PBB 2025 bahwa Indonesia siap mengakui Israel jika Palestina merdeka, sepintas terdengar sebagai manuver diplomasi yang elegan. Ia memberi kesan seimbang: tetap setia pada perjuangan Palestina, tapi juga membuka celah kemungkinan hubungan diplomatik dengan Israel. Namun jika dibedah lebih dalam, ide ini justru menyimpan paradoks besar—dan pesimisme menjadi kesimpulan yang sulit dihindari.
Solusi dua negara sudah puluhan tahun digembar-gemborkan sebagai jalan damai. Tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya: permukiman Israel terus meluas, Gaza terkepung dan hancur, bahkan Palestina sendiri tak memiliki kedaulatan penuh atas tanahnya. Pertanyaannya sederhana: “Palestina merdeka” yang dijadikan syarat itu, apakah realistis? Atau sekadar utopia yang tak pernah tiba?
Mengaitkan pengakuan Israel dengan kemerdekaan Palestina ibarat menggantungkan janji pada sesuatu yang hampir mustahil. Israel, dengan dukungan kuat sekutu globalnya, tak pernah benar-benar menunjukkan kesediaan mengakui Palestina sebagai negara berdaulat. Bahkan, tekanan internasional yang dulu keras kini makin melemah, sementara penderitaan rakyat Palestina terus berlangsung tanpa kepastian akhir.
Alih-alih menjadi strategi cerdas, pernyataan ini bisa terbaca sebagai diplomasi basa-basi. Bagi publik pro-Palestina di Indonesia dan dunia Islam, janji pengakuan terhadap Israel—meski dengan syarat—bisa dianggap kompromi moral. Itu berpotensi merusak posisi Indonesia yang selama ini tegas berdiri di garis depan pembelaan Palestina.
Lebih kritis lagi, gagasan ini memperlihatkan betapa diplomasi sering kali hidup dari ilusi. Solusi dua negara sudah lama menjadi slogan diplomatik yang nyaman didaur ulang, meski realitas lapangan terus membantahnya. Dunia berbicara tentang damai, tapi tanah Palestina kian tergerus. Para pemimpin dunia bersulang di forum internasional, sementara di Gaza anak-anak masih tumbuh di bawah bayang-bayang reruntuhan.
Maka, pesimisme bukan sekadar pilihan emosional, melainkan kesadaran akan jurang lebar antara wacana dan kenyataan. Pernyataan Presiden Prabowo, betapapun diplomatisnya, lebih mencerminkan keputusasaan dunia untuk mencari solusi instan atas konflik yang sudah terlalu kronis.
Selama Palestina belum benar-benar merdeka—dan tanda-tandanya masih suram—ide pengakuan dua negara akan tetap tinggal sebagai retorika. Ia menjadi semacam fatamorgana politik: tampak menjanjikan dari kejauhan, namun menguap ketika didekati.