Mengembalikan Marwah Media di Saat Santernya Media Sosial

Mengembalikan Marwah Media di Saat Santernya Media Sosial

 

Oleh :  Muh Syaifullah, jurnalis

Di tengah derasnya arus informasi di era digital, batas antara berita dan opini, antara fakta dan asumsi, kian kabur. Media sosial kini menjelma menjadi ruang raksasa tempat siapa pun bisa menjadi “wartawan”, “editor”, bahkan “penyiar”. Cukup dengan satu klik, sebuah unggahan bisa menjangkau ribuan orang dalam hitungan detik. Namun, di balik kemudahan itu, muncul tantangan besar bagi media arus utama: bagaimana mengembalikan marwahnya sebagai penjaga kebenaran dan penjernih informasi.

Media arus utama—koran, televisi, radio, hingga portal berita profesional—dibangun atas fondasi keakuratan, keseimbangan, dan tanggung jawab. Setiap berita yang tayang melewati proses panjang: peliputan yang berlandaskan prinsip 5W + 1H (Who, What, When, Where, Why, dan How), verifikasi data di lapangan, serta penyuntingan berlapis oleh redaktur dan redaktur bahasa. Tidak hanya soal tata bahasa, tapi juga tentang logika, kelengkapan, dan etika jurnalistik.

Etika inilah yang menjadi pembeda paling mendasar antara media profesional dan media sosial. Di newsroom, setiap jurnalis terikat pada Kode Etik Jurnalistik—sebuah pedoman moral dan profesional agar publik mendapatkan informasi yang benar, akurat, dan tidak menyesatkan. Sementara itu, di media sosial, siapa pun bisa menulis apa saja tanpa verifikasi, tanpa filter, tanpa pertanggungjawaban.

Akibatnya, ruang digital kerap menjadi lahan subur bagi hoaks, ujaran kebencian, dan disinformasi. Berita palsu mudah menyebar, terutama ketika dikemas dengan judul sensasional dan emosi yang membakar. Banyak pembaca yang tidak sempat memeriksa sumber atau menimbang akurasi, langsung menyebarkannya lebih jauh. Dalam situasi seperti ini, peran media arus utama menjadi semakin vital—bukan sekadar penyaji berita, melainkan penjaga akal sehat publik.

Namun, tanggung jawab tidak hanya terletak di pundak media. Publik juga perlu meningkatkan literasi digitalnya: memahami cara membedakan berita dan opini, mengenali sumber tepercaya, serta menahan diri untuk tidak ikut menyebarkan informasi yang belum pasti. Di sinilah kolaborasi antara jurnalis profesional, akademisi, dan masyarakat menjadi penting untuk membangun ekosistem informasi yang sehat.

Mengembalikan marwah media bukan berarti menolak kemajuan teknologi. Sebaliknya, media arus utama harus memanfaatkan media sosial sebagai sarana memperluas jangkauan, namun tetap berpegang pada nilai-nilai utama jurnalistik: akurasi, independensi, dan etika. Di tengah hiruk pikuk informasi yang serba cepat, media sejati bukan yang paling dahulu memberitakan, melainkan yang paling benar dalam menyampaikan kebenaran.

4 / 100 Skor SEO

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com