Harmonisasi Masyarakat: Ekspetasi Belaka atau Eksistensi Nyata

Oleh : Abi Priambudi*

Manusia hidup di dunia berdampingan dengan manusia lainnya. Manusia membentuk suatu kelompok atas dasar beberapa kesamaan, seperti ras, suku, dan kepercayaan serta memiliki rasa ketergantungangan antara individu yang satu dengan lainnya. Kemudian manusia berinteraksi dengan kelompok, yang mana dari proses hubungan tersebut terdapat aktivitas.

Aktivitas merambah ke dinamika kehidupan yang dalam prosesnya membentuk budaya. Dalam budaya sudah terkandung nilai, norma, tradisi, etika sosial, dan simbol-simbol. Berkembangnya kebudayaan dipengaruhi oleh suatu kebiasaan yang konsisten dan rutin dilakukan, yang selanjutnya berpengaruh pada tatanan kehidupan generasi penerusnya (regenerasi). Kebiasaan yang dipegang teguh telah menjadi tatanan atau prinsip kehidupan masyarakat, yang pada akhirnya budaya tersebut dapat dimaknai sebagai objek.

Masyarakat tidak dapat dipisahkan dengan budaya, sebab setiap kelompok masyarakat cenderung memiliki ciri khas maupun identitas sosial. Kecenderungan tersebut diperoleh akibat melihat dari sisi sosiologis manusia yaitu berkaitan dengan cara pandang atau prinsip teguh yang dibawa manusia sejak kecil primordialisme. Dengan adanya primordialisme yang melekat pada individu atau kelompok sosial, mereka terhegemoni untuk memiliki standar “jati diri” yang khas atau ada ciri khusus.

Setiap manusia mengharapkan hidup rukun dan harmonis, namun tentunya ada banyak hal yang harus disiapkan pada masing-masing individu untuk mencapai itu semua. Ketika berada di dalam ruang lingkup masyarakat, kehidupan tanpa gesekan, pertikaian dan konflik menjadi keinginan yang tidak terlepas dari utopia. Utopia merupakan sistem sosial yang didambakan masyarakat atau tatanan ideal di masyarakat yang hanya ada dalam bayangan (khayalan).

Realitas sosial yang ideal

Masyarakat dapat mencapai kerukunan dengan syarat harus mulai menanamkan kesadaran diri dari masing-masing individu. Oleh karena itu, mereka diwajibkan menjaga pola perilaku baik sopan santun, tenggang rasa, solidaritas sosial sesuai dengan tatanan hidupnya masing-masing (subjektivitas pribadi), supaya bisa mencapai kehidupan idealnya. Ideal dengan tidak mengganggu atau merugikan orang lain, yang bahkan hal tersebut merupakan wawasan umum atau pemahaman yang hampir diketahui oleh setiap orang, mulai dari orang yang beragama maupun tidak.

Jika melihat pada kacamata teori sosial, ada seorang tokoh sosiolog asal Amerika Serikat yang cukup terkenal yakni Tacott Parsons yang berpendapat bahwa di dalam realitas sosial terdapat struktur yang tersistem di dalam masyarakat serta berada dalam keseimbangan dinamis. Berdampak pada pola kehidupan masyarakat menjadi harmonis, karena ada keteraturan yang dipertahankan oleh berbagai elemen masyarakat. Dengan kata lain, setiap individu atau masyarakat sudah memiliki fungsinya masing-masing, berjalan sesuai peran, sehingga diharapkan untuk tidak merugikan individu lainnya, meskipun akan tercipta pola yang membuat masyarakat saling bergantung satu sama lain.

Teori ini merujuk pada integrasi sosial yang menjadi fungsi vital dalam sebuah sistem sosial. Masyarakat ideal, sejahtera, tentram tanpa ada campur tangan “konflik kepentingan dan kebenaran”. Pespektif yang menganalisa masyarakat sebagai satu kesatuan yang utuh, sistem sosial dinamis, dan terdapat hubungan timbal balik.

Mewujudkan keharmonisan

Harapan hidup harmonis harus didampingi dengan usaha yang kuat, pantang menyerah dan juga diniatkan dengan diri mampu menerima konsekuensi atas pilihan perilaku yang diperankan. Upaya yang dilakukan demi kehidupan yang tentram, serasi, dan teratur. Memang semua kembali pada diri sendiri, namun dengan menjadi contoh pribadi yang bijak, satu orang saja bisa mempengaruhi orang lain.

Menjaga kewibawaan atas setiap perilaku atau ucapan adalah jalan yang harus ditempuh bagi kelompok yang menginginkan keteraturan sosial serta didorong dengan pengukuhan maupun penegakan hukum, norma, nilai di masyarakat. Seyogyanya kelompok masyarakat dapat konsisten terhadap nilai atau norma sosial yang dipegang teguh.

Untuk memulai langkah kehidupan yang teratur secara normatif perlu merekonstruksi sikap toleransi, multikulturalisme dan gotong royong. Manusia harus menjauhi perilaku yang menciderai hidup bermasyarakat seperti diskriminasi, dikotomi, stereotipe maupun segala stigma buruk terhadap individu atau kelompok lainnya. Selain itu, merasa diri lebih baik dari yang lain, sombong, arogansi yang tinggi perlu dihindari dalam hidup bermasyarakat.

Dengan optimis yang didukung oleh tindakan atau usaha konkret beserta ikhlas menjalankan apa yang sedang direncanakan, maka bukan tidak mungkin hasil akan tercapai. Dalam hidup tercapainya suatu hal harus diukur secara rasional, jangan sampai manusia memiliki keinginan yang tinggi, namun tanpa tindakan atau usaha yang kuat dan pantang menyerah. Selalu belajar dari kegagalan merupakan modal utama untuk menyelesaikan dengan lancar tugas atau target.

*Abi Priambudi, Mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com