Kasus Joko Tjandra dalam Perspektif Hukum Eropa Kontinental

Oleh: Dicke Muhdi Gailea*

Pentingnya mengetahui latar belakang suatu kejadian telah diakui oleh masyarakat dunia. Jerman bersatu karena latar belakang, Tuhanpun mengajarkan hukum dan keadilan terhadap manusia dengan membeberkan latar belakang kejadian dalam berbagai kitab suci. Selanjutnya, yang cukup penting juga dalam kehidupan hukum berkeadilan adalah sejauh mana kita memahami sistem hukum di suatu negara yang berlaku dan menjadi Ius Constitutum bagi kelangsungan hidup bernegara. khususnya Indonesia telah memilih untuk menggunakan sistem hukum kodifikasi sebagaimana uraian diatas. Jadi, dalam pembangunan maupun langkah untuk menciptakan Restorative Justice manusia khususnya penegak hukum dituntut untuk se-arif serta se-bijaksana mungkin dalam menangani suatu perkara hukum yang terjadi.

Akhir-akhir ini rakyat Indonesia dikejutkan dengan pelbagai isu maupun kasus-kasus hukum yang muncul ke permukaan di tengah masa pandemi Covid-19. Bangsa ini belum sembuh total dari rong-rongan virus ini kemudian bermunculan berbagai masalah diantaranya perihal resesi sebagai penyebab penanggulangan Covid-19 oleh Pemerintah hingga beberapa permasalahan di bangsa ini yang belum mendapat kepastian hukum, diantaranya kasus hukum yang melilit Joko Soegiarto Tjandra (selanjutnya disebut dengan Joko Tjandra) sebagai Direktur PT. Era Giat Prima yang bergerak dalam bidang jasa penagihan piutang, dalam kasus yang menjerat Joko Tjandra ini pula terdapat nama seorang mantan Ketua DPR-RI yaitu Setya Novanto.

Pokok Perkara Kasus Joko Tjandra

Joko Tjandra digugat oleh kejaksaan Negeri Jakarta Selatan karena diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp. 904.642.428.369.00 (Sembilan ratus empat miliar enam ratus empat puluh dua juta empat ratus dua puluh delapan ribu tiga ratus enam pukuh Sembilan rupiah). Kasus ini bermula pada saat Joko Tjandra membeli tagihan Bank Bali kepada sebuah bank mati yaitu Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 1999, Direktur PT. Era Giat Prima dengan pimpinan Bank Bali atas nama Rudy Ramli tersebut akhirnya membuat suatu perjanjian yaitu; perjanjian Cassie yang pada intinya mengatur tentang Pengalihan Hak Tagih Bank Bali kepada masing-masing Bank yaitu PT. BDNI, PT. BUN (Bank Umum Nasional), dan Bank Tiara kepada PT. Era Giat Prima yang telah jatuh tempo pada tahun 1998.

Dugaan adanya tindak pidana korupsi terhadap proses pengajuan permohonan terhadap claim piutang PT. Bank Bali Tbk kepada BPPN dan proses pembayaran uang negara untuk PT. Bank Bali sebesar Rp. 904.642428.369.00, dalam rangka upaya Pemerintah memberikan penjaminan rekapitalisasi terhadap piutang PT. Bank Bali atas PT. BDNI dari kegiatan transaksi SWAP dan Money Market yang telah dijamin oleh Pemerintah. Dugaan tersebut membuat Penuntut Umum menjatuhkan Dakwaan kepada Joko Tjandra dengan Pasal 1 ayat (1) sub jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang No. 31 1999 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 1 ayat (2) KUHP. Bahkan, Penuntut Umum menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk menyatakan Joko Tjandra terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur daan diancam oleh undang-undang tersebut diatas.

Langkah Hukum JPU Menabrak KUHAP

Sebagaimana telah diuraikan diatas dan berdasarkan bukti serta fakta yang muncul di hadapan majelis hakim yang mulia, maka Majelis Hakim memutuskan Joko Tjandra lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Joko Tjandra terbukti secara hukum, tetapi perbuatan tersebut bukanlah merupakan suatu perbuatan pidana melainkan perbuatan perdata. Akibatnya, Joko Tjandra pun lepas dari segala tuntutan hukum.

Dalam perkembangan dunia hukum di Indonesia, Mahkamah Konstitutsi melalui putusannya yang bernomor 114/PUU-X/2012 telah menghapus frase “kecuali” terhadap putusan bebas sebagaimana termaktub dalam Pasal 244 KUHAP maka akibatnya adalah jika seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana namun putusannya lepas (onslag van recht vervolging) dapat kembali diajukan upaya hukum Kasasi maupun Peninjauan Kembali. Menjadi penting untuk diketahui bahwa di dalam teori hukum Asas Legalitas diatur mengenai prinsip Non-retroaktif yang artinya, suatu ketentuan hukum tidak boleh berlaku surut. Terhadap kasus Joko Tjandra harusnya berlaku teori Non-retroaktif ini sebab putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2012 tidak bisa diberlakukan kepada perkara yang menyeret Joko Tjandra di tahun 2008 silam ketika Pasal 244 KUHAP masih berlaku, merupakan suatu ketidakadilan apabila dalam hal ini Mahkamah Agung tetap melakukan eksekusi terhadap kasus a quo karena akan menciderai asas kepastian dan keadilan hukum.

Dakwaan Jaksa Tidak Tepat

Fakta lain yang muncul di pengadilan adalah keterangan dari Prof. Loebby Lukman, S.H., Rosa Agustina Pangaribuan, S.H., M.H., Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdaeni, S.H.,M.H.,  dan Prof. Dr. Rudhy Prasetya, S.H., M.H., bahwa terhadap suatu perjanjian perdata, maka yang bisa membatalkan perjanjian tersebut adalah para pihak yang membuat dan menandatangani perjanjian tersebut dan pihak yang lain (pihak diluar selain yang menanda-tangani dan membuat perjanjian tersebut) tidak dapat melakukan pembatalan terhadap perjanjian tersebut. Dalam hal ini berlaku asas Pacta Sunt Servanda (suatu perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya). Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tidak melaksanakan hak dan kewajibannya maka dapat dikategorikan telah melakukan perbuatan wanprestasi/ingkar janji, dan hal ini adalah termasuk dalam ruang lingkung peradilan perdata, hakim pidana tidak berhak untuk mengadili perkara ini.

Perjanjian Cassie  bukanlah perjanjian accesoir dan tidak ada hubungannya dengan levering sebagaimana diatur dalam Pasal 584 KUH Perdata, adapun syarat-syarat untuk melakukan perjanjian Cassie adalah; harus ada hak tagihan atas nama dan tak bertubuh lainnya, harus ada kreditur dan debitur, dapat dituangkan dalam akte otentitk ataupun akta di bawah tangan. Bahwa perbuatan PT. Era Giat Prima dan PT. Bank Bali untuk menanda-tangani perjanjian Cassie bukanlah perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana (tidak ada perbuatan melawan hukum dalam dan tidak melanggar asas kepatutan dalam perjanjian Cassie yang ditanga-tangani oleh PT. Era Giat Prima dan PT. Bank Bali (*)

*Penulis adalah Law Office Nizar Bachmid & Partners Advocate & Legal Consultant

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com