Menilik Kearifan Penegakkan Hukum: Prospek Penerapan Restorative Justice dalam Penanganan Perkara Pidana- BAGIAN 1

Oleh: Dessy Kusuma Dewi*

Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja No. 15/2020). Menurut peraturan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berhak menghentikan penuntutan terhadap terdakwa dalam kasus-kasus tertentu, apabila pihak korban dan terdakwa sudah sepakat damai. 

Keluarnya Perja tersebut dapat menjadi harapan masyarakat yang selama ini sering menyoroti kasus-kasus pidana kecil yang tidak layak diteruskan ke proses persidangan. Dikatakan tidak layak, karena biaya perkara yang dikeluarkan tidak sebanding dengan nilai kerugian dari tindak pidananya, lebih-lebih apabila ada keinginan dari korban untuk berdamai. Apabila diteruskan berpotensi dapat melukai keadilan masyarakat. Lebih dari itu Perja ini juga diharapkan dapat mengatasi dilematis over capacity di pengadilan.

Adanya Perja No. 15/2020 yang memberikan kewenangan Jaksa untuk menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif menjadi terobosan dalam penyelesaian tindak pidana. Keadilan restoratif (restorative justice) merupakan pendekatan dalam penyelesaian tindak pidana yang saat ini kembali banyak disuarakan di berbagai negara. Melalui pendekatan keadilan restoratif, korban dan pelaku tindak pidana diharapkan dapat mencapai perdamaian dengan mengedepankan win-win solution, dan menitikberakan agar kerugian korban tergantikan dan pihak korban memafkan pelaku tindak pidana.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang mengatur bahwa yang menjadi ukuran tindak pidana bukan besar kecilnya kerugian, tetapi perbuatan tersebut telah memenuhi unsur atau tidak. Sebagai contoh, kasus yang membuat gempar masyarakat Indonesia pada tahun 2009; pencurian 3 buah kakao seharga Rp 2.000 (Dua ribu rupiah) yang dilakukan oleh Nenek Minah yang berusia 55 tahun di Purwokerto (Octavianne, 2020). Tahun 2018 ada kasus Kakek Sarimin berusia 68 tahun yang mencuri getah karet seberat 1,9 kg seharga Rp.17.000 (Tujuh belas ribu rupiah).

Sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan penuntutan, kejaksaan tidak mempunyai pilihan untuk tidak melanjutkan proses hukum. Secara materil perbuatan yang dilakukan Nenek Minah maupun Kakek Sarimin telah memenuhi unsur delik pencurian, meskipun secara hati nurani perkara tersebut tidak layak untuk disidangkan.

Indonesia menganut Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System), yang mendasarkan pada prinsip “diferensiasi fungsional”. Setiap aparat penegak hukum melaksanakan penegakan hukum sesuai dengan tahap proses kewenangan yang diberikan kepada masing-masing penegak hukum berdasarkan apa yang diatur dalam undang-undang (Harahap, 2000). Mekanisme integrated criminal justice system dimaksudkan untuk membuktikan sampai dengan mempidana orang yang melakukan tindak pidana. Dengan kata lain, untuk membuktikan seseorang bersalah atau tidak, harus melalui proses yang diatur dalam hukum acara yang dilaksankan oleh alat negara di setiap tahapannya.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia terdiri atas 4 (empat) komponen yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan terpidana. Empat komponen ini diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk bekerjanya suatu ”Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System)” (Reksodiputro, 1997).

Proses peradilan pidana di Indonesia terdiri atas serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, dan penahanan oleh Kepolisian, penuntutan oleh Kejaksaan, pemeriksaan di persidangan, hingga pemidanaan oleh Pengadilan, dan Pemasyarakatan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Tahapan tersebut merupakan kegiatan yang sangat kompleks (Wibowo, 2020). Semuanya bertujuan untuk mencari dan mendekatkan kebenaran materiil, yakni kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menetapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat (Afiah, 1998).

Jaksa merupakan salah satu alat negara yang melaksanakan tugasnya di bidang penuntutan. Masyarakat banyak yang menyamakan antara Jaksa dengan penuntut umum. Padahal hal tersebut sesuatu yang berbeda. Jaksa dalam melaksankan tugas dan kewenangannya berpedoman pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kajaksaan Republik Indonesia sebagaimana di atur dalam pasal 30. Undang-undang tersebut membedakan kewenangan yang dimiliki oleh penunutut umum dan Jaksa Agung.

Kitab Undang–Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur bahwa jaksa hanya dapat menghentikan penuntutan demi kepentingan hukum apabila tersangka meninggal dunia, nebis in idem, tidak cukup bukti, dan perkara daluarsa. Kewenangan penghentian penuntutan demi kepentingan umum hanya dimiliki oleh Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam pasal 35 ayat 1 huruf c Undang-undang Kejaksaan (Sofyan & Azis, 2014). Sedangkan penuntut umum tidak mempunyai kewenangan untuk itu. Konsekuensinya apabila ada proses perdamaian antara korban dan pelaku pidana di tahap penuntutan, penuntut umum tetap melanjutkan perkara hingga memperoleh kekuatan hukum tetap. (Bersambung).

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasakti Tegal

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com