PEMILIHAN Presiden 2014 memberikan ancaman bagi 10.000.000 petani tembakau dan industri kretek nasional. Beberapa hari lalu Calon Presiden Joko Widodo dalam berbagai pernyataan media telah menunjukkan sikap antusias untuk menjalankan regulasi pembatasan tembakau yakni UU kesehatan dan PP 109 tentang pembatasan tembakau.
Selanjutnya kita dapat meneropong mengenai kebijakan pemerintahan ke depan apabila Jokowi terpilih. Setidaknya akan memungkinkan beliau melakukan ratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dimana sudah megaskan dalam statemen pada media beberapa waktu lalu. FCTC sendiri merupakan rezim internasional untuk membatasi tembakau dan industri.
Sasaran FCTC adalah membentuk agenda global bagi regulasi tembakau, dengan tujuan mengurangi perluasan penggunaan tembakau dan mendorong penghentiannya.
Dengan menandatangani FCFC, jelas bahwa Indonesia secara legal kemudian mengikatkan diri pada prinsip-prinsip, norma-norma, dan aturan-aturan di dalamnya.
Penandatanganan FCTC sama halnya dengan membuka pintu secara sukarela untuk diintervensi. Selain itu ratifikasi FCTC akan mensubordinasikan Indonesia terhadap pola hegemonisme Internasional secara sempurna. Dampaknya adalah akan merugikan sejumlah besar stakeholder bangsa ini. Terlebih dari awal Indonesia tidak terlibat dalam perumusan FCTC, maka dapat dipastikan tidak ada kepentingan nasional Indonesia yang terwakili.
Melihat program-program Capres Jokowi yang memerlukan dana besar, maka akan kontras dengan pernyataan Jokowi yang akan meratifikasi FCTC. Dengan meratifikasi FCTC maka negara terancam kehilangan sumber pendapatan. Pendapatan cukai tembakau pada tahun 2013 sebesar Rp 103,7 triliun akan hilang. Angka Rp 103.7 triliun tersebut belum termasuk pendapatan dari PPH, PPN dan Pajak serta retribusi daerah yang dipungut pemerintah. Maka apabila seluruh retribusi dari tembakau mulai dari hulu sampai hilir, nilainya akan jauh lebih besar dari Rp 103 triliun tersebut.
Apabila kita jeli melihat FCTC tersebut, maka akan berujung pada muara standardisasi. Standardisasi yang diterapkan tidak akan dapat diterapka oleh perusahaan rokok kecil. Maka secara jelas hanya perusahaan rokok besar bertaraf Internasional yang mampu mencapainya. Dari hal tersebut sangat jelas pangkal muaranya adalah import tembakau (Salamuddin Daeng, 2014).
Di saat menjelang peralihan kekuasaan maka patutnya meneropong kebijakan dari masing-masing kandidat. Khusus untuk Capres Jokowi sebaiknya berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Sepatutnya beliau meninjau ulang PP 109 tahun 2010 dan mempelajari FCTC terlebih dahulu sebelum mengambil sikap dan mengeluarkan pendapat. Kesalahan statement akan memberikan gambaran bahwa Jokowi adalah boneka asing. Sebaiknya berhati-hati menggunakan argumentasi (Salamiddim Daeng, 2014).
Baik Jokowi dan prabowo harus memandang permasalahan ini sebagai mozaik nasional interes. Hal tersebut berkaitan dengan selogan kedua calon yang menyerukan nasionalisme. (Dr. Margarito Kamis, 2014).
Pastinya kedua Capres memahami, bahwa dalam kerangka besar perjanjian luar negri tidak terkecuali FCTC, sifatnya akan mengikat dalam kebijakan selanjutnya. Perjanjiannya sangat ekslusif, tidak melibatkan DPR atau rakyat, apabila Indonesia tidak mengikuti kebijakan FCTC maka Indonesia dapat di kenakan sanksi, (Salamudin Daeng, 2014).
Pemilihan Presiden kali ini sepatutnya menjadi ajang adu kuat melawan asing, bukan ajang adu gadai aset negara. [*]
Penulis: Chaerudin Affan, Peneliti INDESI