YOGYAKARTA – Dosen FKKMK UGM, Dr. ret. nat. Apt. Arko Jatmiko Wicaksono, MSc memaparkan pengobatan tradisional Indonesia dalam Konferensi Internasional Pengobatan Tradisional (Traditional Medicine) yang diadakan oleh Center of Applied Thai Traditional Medicine (CATTM), Siriraj, Mahidol University, Thailand pada 9 – 11 Nopember 2022.
CATTM Siriraj merupakan salah satu pusat kolaborasi WHO (WHO Collaborating Center) dalam hal pengobatan tradisional. Kegiatan tersebut dihadiri oleh perwakilan dari 10 negara yaitu Thailand, United Kingdom, Iran, Australia, China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Indonesia, dan Hongkong.
Sebagai wakil dari Indonesia, Arko Jatmiko Wicaksono menyampaikan makalah berjudul Traditional Medicine in Indonesia : Recent Progress on Its Transformation Process.
Dalam makalahnya, peneliti di Pusat Kedokteran Herbal ini mengatakan pengobatan tradisional sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sejak 1400 th yg lalu. Hal terlihat dari gambar aktivitas pengobatan pada relief pahatan tembok candi Borobudur dan isi kandungan kitab centhini yang mempertegas eksistensi pengobatan tradisional, utamanya di Jawa.
“Namun disisi lain, tidak sedikit tenaga medis yang enggan meresepkan obat herbal karena kurangnya pengetahuan mereka terkait pengobatan tradisional dan kurangnya data saintifik yang bisa dijadikan pegangan dalam praktek medisnya,”paparnya.
Ia mencontohkan kunyit asam dikenal sebagai suplemen untuk menstruasi dan sudah ada ribuan riset terkait aktivitas farmakologisnya. Bahkan uji klinis pada manusia membuktikan sedikitnya efek samping dari penggunaan herbal kunyit. Kendati begitu beberapa literatur mengindikasikan bahwa pada awal kehamilan ternyata kunyit sebaiknya tidak banyak dikonsumsi oleh ibu hamil. Sebab kunyit mampu merangsang kontraksi uterus sehingga dapat meningkatkan resiko abortus. Sebaliknya, efek memicu kontraksi uterus tersebut bisa jadi justru sangat membantu, jika digunakan pada akhir masa kehamilan untuk merangsang persalinan.
Oleh sebab itu, lanjutnya, BPOM mengatur dan menggolongkan herbal menjadi 3 jenis yakni jamu yang cara pembuatan dan klaim penggunaannya berbasis data empiris, obat herbal terstandar yang khasiat dan keamanannya sudah dibuktikan melalui serangkaian uji preklinis, dan fitofarmaka yaitu herbal yang sudah teruji klinis indikasi penggunaannya. Pada proses pembuatannya, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka sudah terstandarisasi mengikuti Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik sebagai sebuah prosedur baku yang diakui legalitasnya sehingga kualitasnya senantiasa terjaga.
Dosen yang berafiliasi di Departemen Farmakologi dan Terapi ini mengatakan meski sudah ada proses penjaminan mutu khasiat serta keamanan herbal oleh BPOM, akan tetapi aksesibilitas dan penggunaan obat herbal sebagai obat pilihan dalam pelayanan medis masih terkendala. Semakin kuat data ilmiah suatu sediaan obat herbal, semakin mahal harga jualnya.
“Contoh Tensigard (Fitofarmaka) apabila dibandingkan dengan Amlodipin (obat kimia konvensional) harganya bisa 10 kali lipat lebih mahal, untuk indikasi medis yang sama”.
Menurutnya Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau biasa disebut sebagai Universal Health Coverage seharusnya memainkan peran penting. Sayangnya, ada aturan kontradiktif yang menyulitkan herbal untuk masuk dalam list pembiayaan oleh JKN, yakni Permenkes no. 54 th. 2018.
“Untuk mensukseskan obat modern asli indonesia (OMAI) memainkan peran strategis, dalam rangka mendukung kemandirian farmasi nasional, aturan tersebut sangat perlu ditinjau ulang”, ucapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan penting untuk melakukan penelitian herbal berbasis databank. Tujuannya untuk memetakan berbagai interaksi dalam sediaan herbal baik untuk memprediksi keamanan maupun untuk menjadikannya menjadi memiliki “boosting effect” (herbal dengan khasiat lebih manjur). Sementara itu di Indonesia hingga saat ini baru ada prototip penggunaan artificial intelligece utk memprediksi korelasi senyawa aktif dengan penyakit tertentu. Kedepan pengembangan databank berbasis interaksi obat menggunakan data hasil uji preklinis dan data klinis, penting untuk dikembangkan bersama-sama, melibatkan para ahli dibidang farmasi-kedokteran herbal, biologi molekuler, bioinformatik dan pengambil kebijakan. (pr/kt1)