Oleh: Ngadiyo*
BERKEMBANGNYA pelatihan yang bergerak di bidang peningkatan kecerdasan spiritual (ESQ, Emotional Spiritual Quotion) menarik perhatian berbagai kalangan. Terutama para agamawan dan pendidik. Apakah agama tidak cukup untuk membangkitkan semangat spiritual sehingga harus mengikuti pelatihan motivasi? Indikasi kekeringan spiritual semakin memuncak jika marakanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia meningkat pula. Berarti semangat untuk beribadah dan bertakwa kepada Tuhan pun seperti musim kemarau. Kering. Sehingga para motivator dengan berbagai keahlian memotivasi orang berlomba-lomba memberikan pelatihan kecerdasan spiritual. Intinya adalah agar spiritualitas manusia-manusia ringkih meningkat. Semangatnya bertambah. Ibadahnya pun semakin rajin.
Itulah tujuan utama para motivator yang mengelola lembaga motivasi. Mereka pun berusaha melobi pemegang kebijakan agar program pelatihan motivasi semakin gencar dilakukan. Mulai dari sekolah, instansi, hingga ke pemerintahan bahkan membawa keyakinan beragama ke praktik religiusitas. Angka fantastis pun tidak menjadi soal. Hal terpenting adalah para peserta akan lebih termotivasi menjalani kehidupan di dunia ini. Adalah pemegang kebijakan yang menyetujui pelaksanaan pelatihan motivasi yang mendapatkan keuntungan (cash back) dari lembaga penyelenggara motivasi.
Contoh yang sering kita lihat secara rutin adalah pelatihan ESQ menjelang Ujian Nasional (UN) di sekolah-sekolah. Sudah jelas siswa yang akan melaksanakan UN semangat belajarnya semakin meningkat. Mereka pun menunjukkan motivasi belajar dari diri sendiri dengan ikut les di sekolah. Bahkan mengikuti bimbingan belajar dengan biaya selangit. Pertanyaan yang paling menggelikan adalah, mengapa sekolah menyelenggarakan ESQ? Sehingga siswa harus dikondisikan dalam keadaan kosong, hina, bersalah dengan banyak dosa. Hujan air mata pun menjadi hal mengharukan yang dipaksakan. Mereka harus menonton video-video orang-orang yang cacat, diingatkan tentang ibu mereka, dosa-dosa kepada guru, diiringi musik yang menyihir agar jiwa semakin rapuh. Ini jelas perusakan spiritual yang membahayakan.
Maraknya pelatiah motivasi, terutama di sekolah berkembang sejak 2005. Sebelumnya tidak ada pelatihan menangis bersama menjelang UN. Seolah-olah UN adalah sesuatu yang menyeramkan sehingga harus dihadapi dengan begitu dramatis. Siswa pun harus membayar hanya memenuhi perintah sekolah. Pihak sekolah yang menerima penawaran dari lembaga pelatihan motivasi jelas meraih keuntungan besar. Begitu pula para motivator yang seolah seperti nabi mampu membangkitkan motivasi siswa.
Tidak hanya siswa yang akan melaksanakan UN mulai dari SMP dan SMA, mahasiswa baru pun yang begitu heroik menyandang predikat tertinggi dalam status keterpelajaran juga harus mengikuti pelatihan ESQ. Mereka, para mahasiswa baru yang baru lulus SMA tentu semangat, motivasinya sedang dalam puncak spiritual. Mengapa harus dimotivasi? Kondisi jiwa mereka harus dinolkan. Mereka dihadapkan untuk memiliki impian-impian yang dibangkitkan oleh para motivator. Bukankah mahasiswa baru sudah memiliki impian setinggi langit? Perlukah diadakan pelatihan seperti ini yang menelan biaya mahal? Mereka pun akan menyesuiakan diri dalam belajar sebagai mahasiswa. Kebiasaan semasa SMA juga mampu mereka adaptasi dengan cepat dan baik.
Sejauh pengamatan saya hanya sekolah dasar (SD) yang belum begitu marak melaksanakan jenis pelatihan ini. Saya bisa bayangkan jika siswa SD harus dihadapkan pada kondisi menangis bersama. Mereka tentu bisa kesurupan. Para motivator dan asistennya, guru-guru mereka bahkan orangtua akan bingung setengah mati. Hanya karena pelatihan ESQ yang menyihir itu membuat kelabakan.
Ketika pelatihan ESQ berlangsung sudah banyak peserta yang kesurupan. Para motivator sendiri tidak mampu mengatasi. Mereka ketakutan sendiri. Itu yang saya lihat langsung saat saya menonton adegan demi adegan penyihiran pelatihan ini dengan menayangkan nasib orang-orang cacat dengan video diiringi musik yang memekakan telinga di SMP N 2 Cepogo-Boyolali (2011).
Ada seorang siswa kesurupan. Dia meronta dan dipegangi oleh beberapa asisten motivator. Siswa itu meronta hingga mencebur ke selokan depan kelas. Akhirnya motivator menyerah dan meminta pihak sekolah memanggil orang pintar yang mampu menyembuhkan kesurupan.
Betapa konyol pelatihan ini. Saya merasa tersinggung karena peserta harus dihadapkan dengan video-video pembangkit rasa haru, yang bisa mengurai air mata. Video itu sudah standar digunakan para motivator di mana saja untuk menarik simpati. Orang cacat mereka gunakan untuk membangkitkan kecerdasan emosi-spiritual. Orang-orang cacat yang sedang melakukan lomba olahraga dengan segala keterbatasan dan mereka ditampilkan bisa berprestasi.
Inikah urgensi meningkatkan kecerdasan sekaligus membangkitkan motivasi belajar siswa? Ironi. Siswa dan mahasiswa sudah sadar sepenuhnya. Tanggung jawab mereka kepada orang tua, terutama pada diri sendiri sudah jelas: belajar sebaik mungkin menghadapi UN dan menjadi mahasiswa baru pun kondisi emosi dan spiritualitas mereka tentu dalam keadaan sangat baik.
Pelatihan ESQ justru ingin menunjukkan simpati yang menyudutkan orang-orang difabel dengan membandingkan dengan orang-orang normal dari segi keterbatasan fisik. Seolah orang difabel bisa berprestasi mengapa orang normal tidak? Seolah orang normal lebih ringkih sehingga harus dimotivasi.
Komersialisasi pelatihan motivasi di lembag-lembaga atau instansi baik swasta maupun pemerintah pun menggila. Para karyawan sepertinya lemah dan tak berdaya dalam menghadapi kehidupan. Motivator dihadirkan. Seolah manusia tidak lagi bertuhan dan menjalakan kewajiban beribadah di negara ber-Pancasila ini. Semoga menjadi perenungan kita bersama.
*Penulis adalah Penggiat Filsafat Pendidikan dan Peneliti di Bilik Literasi – Solo