Oleh: Emban Permata Siam*
Tembakau merupakan hasil perkebunan yang menjadi bahan baku utama pembuatan rokok maupun cerutu. Konsumsi hasil olahan tembakau yaitu rokok bisa dikatakan hampir menjadi kebutuhan pokok bagi sebagian warga negara Indonesia. Laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) berjudul The Tobacco Control Atlas, Asean Region, di Asean, Indonesia menempati urutan pertama negara dengan jumlah perokok terbanyak yakni 65,19 juta orang, setara kurang lebih 34 persen dari total jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2016. Angka tersebut memiliki kemungkinan untuk lebih tinggi lagi dikarenakan pertumbuhan penduduk juga semakin meningkat.
Kementerian Perindustrian (Kemperin) mencatat, kebutuhan konsumsi rokok dari tahun ke tahun terus meningkat. Pertumbuhan produksi rokok naik sekitar 5 persen hingga 7,4 persen per tahun. Pada tahun 2015 Kemperin memprediksi produksi rokok mencapai 398,6 miliar batang, dan pada tahun 2016 diperkirakan naik sekitar 5,7 persen yakni menjadi 421,1 miliar batang. Pada tahun 2020, diproyeksikan produksi rokok mencapai 524,2 miliar batang.
Di Indonesia sendiri pada tahun 2017 menduduki posisi ke-6 sebagai produsen temabakau terbesar di dunia di bawah China, Brazil, India, USA, dan Zimbabwe. Bersumber dari data Direktorat Jenderal Perkebunan produksi tembakau di Inonesia sendiri dari tahun 2016 hingga tahun 2018 mengalami peningkatan. Pada tahun 2017 mengalami penaikan 42,94 persen pada produksi tembakau menjadi 181,142 ton dengan luas tanam tembakau meningkat sebesar 29,47 persen dengan luas 201,909 Ha, pada tahun ini mengalami penurunan produktivitas sebesar 1,87 persen dibanding tahun sebelumnya dengan produktivitas sebesar 917kg/ha. Pada tahun 2018 angka sementara yang diterbitkan oleh Dirjen Perkebunan pada produksi tembakau mencapai 181,308 ton dengan luas tanam seluas 203,014 Ha dengan produktivitas 902kg/Ha turun dibanding tahun sebelumnya. Pada tahun 2019 ini Dirjen Perkebunan mengharapkan produksi tembakau meningkat dari tahun sebelumnya menjadi 183,360 ton dengan harapan luas tanam 204,562 Ha dengan produktivitas mencapai 905kg/Ha. Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mencatat kebutuhan tembakau industri bisa mencapai 330.000 sampai 350.000 ton setiap tahun.
Dengan kebutuhan yang mencapai 330.000 hingga 350.000 ton dengan produksi dari dalam negeri yang hanya mampu menghasilkan 180.000 ton, Indonesia masih harus mengimpor sekitar 150.000 hingga 170.000 ton tembakau yang berarti hampir setengah kebutuhan tembakau dalam negeri belum bisa tercukupi. Mau tidak mau untuk mencukupi kekurangan tersebut pemerintah harus impor tembakau dari negara lain. Tembakau yang paling sering diimpor yaitu tembakau virginia dikarenakan memiliki rasa dan aroma yang lebih untuk rokok dan produksi dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan negeri sendiri. Negara pemasok terbesar untuk jenis tembakau ini yaitu China, Amerika Serikat, dan Brasil
Dari impor tersebut akan berefek pada permintaan tembakau lokal. Dalam upaya mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan kebijakan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 84 tahun 2017 tentang ketentuan pembatasan Impor Tembakau yang menyatakan pemerintah akan membatasi impor tembakau. Tembakau yang dimaksud disini adalah tembakau jenis vriginia, jenis burley, jenis oriental dan lainnya. Ketiga jenis tembakau yaitu Virginia, Burley dan Oriental merupakan jenis tembakau yang paling sering digunakan untuk produksi industi rokok dan di Indoenesia sendiri masih terbatas dalam produksi ketiga jenis tembakau tersebut.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno menyampaikan pembatasan importasi tembakau hanya akan menguntungkan sebagian petani, khususnya petani tembakau Virginia dan Burley putih. Pasalnya, pasokan tembakau lokal masih belum dapat memenuhi kebutuhan industri rokok di dalam negeri. Kebijakan tersebut nantinya bsia mengganggu pemasokan tembakau untuk indsutri rokok yang dapat menyebabkan berkurangnya produksi rokok.
Kemudian pada tahun 2020 nanti, pemerintah akan menaikan cukai untuk rokok sebesar 21,55 persen dan kenaikan rata-rata harga jual rokok sebsar 30 persen yang termuat dalam Peraturan Mentri Keuangan (PMK) Nomor 152/PMK.010/2019 tentang tarif cukai hasil tembakau . Kenaikan ini akan berdampak pada produksi rokok dan khususnya permintaan hasil tembakau itu sendiri. Jumlah produksi rokok akan berkurang dikarenakan kenaikan cukai tersebut dan berdampak pada turunnya jumlah permintaan tembakau tersebut.
Pada intinya kebijakan pemerintah haruslah memperhatikan tentang kesejahteraan rakyatnya. Pembatasan untuk impor ini penting dikarenakan akan berefek pada petani lokal dan tembakau lokal itu sendiri. Data dari Kementerian Perdagangan, sebagian besar tembakau yang diimpor adalah jenis tembakau virginia, yang nyatanya jenis tembakau tersebut dapat ditanam di Provinsi Lombok. Untuk dapat menggantikan tembakau impor, produktivitas, kualitas tembakau virginia lokal ditingkatkan agar setara dengan kualitas impor. Selain itu alangkah lebih baiknya jika perusahaan rokok di Indoensia membeli hasil dari petani lokal dan menggunakan tembakau lokal sebagai bahan pembuatan rokok.
Namun kebijakan soal kenaikan cukai maupun kenaikan harga jual rokok tersebut alangkah lebih baiknya dikaji lagi dikarenakan efek kebijakan tersebut tidak hanya memberikan efek kepada insutri rokok maupun bagi industri tembakau itu sendiri. Namun juga akan berefek kepada rakyat kecil terutama bagi petani tembakau lokal dan penjual rokok eceran yang diakibatkan oleh kenaikan harga rokok itu sendiri. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Politeknik Statistika (STIS) tingkat 3.