Oleh: Muhammad Fachrul Hudallah*
Di Indonesia, setiap tanggal 21 April di peringati sebagai hari kartini karena disebabkan oleh Ir. Soekarno yang mengeluarkan Kepres No. 108 pada tanggal 2 Mei 1964. Banyak yang menganggap Kartini sebagai tokoh mitos, padahal dia adalah manusia biasa. Jika di bandingkan dengan tokoh mitos, dia lebih agung daripada Jendral mitos. Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879 yang merupakan putri dari RM Adipati Sosroningrat seorang bupati Jepara dan Ngasirah seorang selir.
Kartini merupakan tokoh pemikir Indonesia pertama kali alumni dari sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Dia selalu menggaungkan pendidikan di era pribumi waktu itu. Menurutnya, pendidikan merupakan jalan satu-satunya yang dapat mengubah pola pikir dengan jalan penanaman kesadaran akan ketertindasan. Tanpa pendidikan, mereka tidak akan tahu bila tertindas.
Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, begitu slogan yang biasanya di ucapkan oleh mayoritas orang. Dari segi fisik, Kartini mewarisi dari ibunya. Sedangkan dari segi intelektual, Kartini mewarisi dari keluarga ayahnya. Di era Hindia-Belanda, untuk mengukur pendidikan seseorang dapat dilihat dari kemampuannya menguasai bahasa, terutama bahasa Belanda dan Melayu sekolahan.
Ketika menempuh pendidikan di sekolahnya, Kartini mendapatkan perilaku yang tidak adil. Banyak dari teman dan gurunya yang menghina, merendahkan, dan membenci Kartini. Tetapi juga tidak sedikit yang mengenal dan menyayanginya. Gurunya juga tidak rela jika memberikan nilai yang tinggi terhadap anak Jawa, meskipun berhak untuk mendapatkannya.
Dulunya, perempuan ditempatkan di kasta paling rendah di banding laki-laki karena di anggap bahwa harus tinggal di rumah dan tidak perlu pendidikan. Betapa malangnya jika mereka tidak berpendidikan dan tidak sadar akan ketertindasan. Oleh sebab itu, RA Kartini merubah paradigma itu menjadi lebih baik, yaitu perempuan harus mencari ilmu setinggi-tingginya.
Kartini merupakan sosok wanita yang gemar membaca dan menulis. Dia membaca setiap sebelum dan sesudah tidur serta mengarang dengan nama pena di dalam coretan tulisanya. Dia sangat marah ketika nama penanya bocor dan di ketahui oleh orang lain karena tidak memiliki ketertarikan atas pujian.
Kartini sangat memperjuangkan pendidikan bagi bangsanya yang penuh ketertinggalan. Dia sangat menyayangkan jika banyak orang yang berfikir bahwa perempuan hanya di rumah tanpa pendidikan. Demi meningkatkan pendidikan di masyarakat pribumi, Kartini sangat ingin mendirikan sekolah. Hingga akhirnya, Yayasan van Deventer merealisasikan keinginan Kartini dengan mendirikan sekolah kartini pada tahun 1912 di Semarang.
Sangat penting pendidikan baginya dan bangsanya. Oleh sebab itu, tugas dari bangsanya adalah melanjutkan perjuangannya. Hidup yang di lumuri oleh pengetahuan lebih baik daripada tidak sama sekali. Untuk itu, selalu belajar sangat di anjurkan oleh R.A Kartini karena dia menginginkan bangsa yang cerdas. Menurutnya derajat laki-laki dan perempuan harus sama di bidang pengetahuan.
Tidak hanya cerdas, Kartini juga santun terhadap orang lain. Walaupun dia sangat pintar, tetapi tidak melupakan adab. Menulis juga hal yang sangat penting agar rekam jejaknya dapat di rasakan dan di ingat oleh orang lain. Tanpa menulis, orang tidak akan mengaktualisasikan buah pikirannya. Sehingga, menulis selain dapat mengembangkan diri juga dapat memberikan ilmu kepada khalayak ramai.
Pramoedya Ananta Toer sangat menyukai tokoh yang dinikahkan oleh ayahnya dengan bupati rembang, yaitu RA Kartini. Menurut Pram, dia merupakan sosok perempuan pejuang di massanya. Pendidikannya di junjung tinggi demi pengabdiannya terhadap bangsanya, yaitu pribumi. Betapa banyak penindasan, membuat Kartini selalu bangkit berjuang dan melawan.
Maka dari itu, belajar yang tekun sangat di butuhkan untuk kemajuan bangsa dan peradaban. Kemampuan manusia dalam berfikir dapat di latih secara terus menerus agar dapat berfikir inklusif dan tergerak untuk memperjuangkan bangsa. Hargai perjuangan dengan cara meneruskan dan jangan mengecewakan karena masa depan adalah milik kita semua. (*)
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim Semarang