YOGYAKARTA-Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof.Drs. K.H.Yudian Wahyudi, M.A., Ph.D., menyampaikan bahwa UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen dalam perkembangannya, terutama pada batang tubuh. Ia mengatakan amanademen UUD 1945 seharusnya dilakukan dalam kerangka penyempurnaan aturan dasar menjadi lebih lengkap dan jelas sebagai solusi atas tuntutan kebutuhan bangsa untuk mencapai tujuan nasional.
“Namun faktanya, seperti yang telah dikemukakan oleh pakar/ahli yang juga hadir disini bahwa UUD 1945 hasil amandemen dinilai belum menunjukkan hubungan yang koheren dengan nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam Staatfundamentalnorm,” paparnya dalam Diskusi Kelompok Terumpun Refleksi Nilai Pancasila Dalam Undang-Undnag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diselenggarakan BPIP bersama Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM, Jum’at (19/11/2021) di UC UGM.
Yudian menuturkan masih ada inkonsistensi, kontradiksi, dan ketidakselarasan antar pasal dan ayat dalam UUD 1945 sehingga negara menjadi terjebak pada kekuasaan oligarki. Selain itu, praktik penyelenggaraan negara lebih berorientasi pada demokrasi dan hukum namun mengabaikan pembangunan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama.
“Melalui FGD ini BPIB berharap bisa mendapatkan masukan, aspirasi, dan pandangan kritis dari para pakar dan intelektual dalam rangka mewujudkan konstitusi berdasar pada Pancasila,”terangnya.
Sementara Rektor UGM yang diwakili Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat UGM, drg. Ika Dewi Ana, M.Kes., Ph.D., mengatakan saat ini Indonesia dihadapkan dalam situasi dengan perubahan karakter Pancasila yang terus merosot dari tahun ke tahun. Hal itu dikarenakan belum adanya kesamaan batin dalam menempatkan Pancasila dalam sistim pendidikan. Banyak terjadi inklusi sosial seperti polarisasi dan fragmentasi di masyarakat.
“Tantangan dan dinamika akan terus berkembang dan sebelum ancaman tersebut datang maka tindakan untuk mereposisi Pancasila perlu dalam mewariskan ilmu dan karakter Pancasila,” jelasnya.
UGM melalui PSP, lanjutnya, telah lama menengarai peraturan perundangan-undangan tidak sejalan dengan Pancasila. Padahal seharusnya produk kebijakan publik dan perundang-undangan dibentuk untuk menguatan Pancasila dan tujuan bernegara. Oleh sebab itu, kondisi ini perlu direfleksikan dan UGM sebagai universitas Pancasila terus teguh mengemban amanat menjadikan Pancasila sebagai landasan penyelengaraan negara.
“Di tengah pandemi UGM menyambut momen-momen akademis sebagai bagian tugas bersama untuk ikhtiar mendudukan yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara dan diskusi ini sejalan dengan jati diri UGM sebagai universitas Pancasila,” katanya.
Diskusi kali ini diselenggarakan secara luring terbatas dan daring dengan menghadirkan sejumlah pakar dari UGM, UI dan Universitas Diponegoro. Beberapa diantaranya adalah dari Prof. Dr. Sofian Efendi, B.A. (Hons.)., M.A., M.P.I.A., Ph.D., (FISIPOL UGM), Prof. Dr. H. Kaelan, M.S., (Filsafat UGM), Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, M.Sc., (FEB UGM), Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.AK., (FKKMK UGM), Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., (FH Universitas Diponegoro), dan Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. (FH UI). (pr/kt1)
Redaktur: Faisal