Oleh: Abi Priambudi*
Modal Sosial, istilah baratnya adalah social capital. Modal sosial dimaknai beragam oleh para teoritisi sosial, kritikus, serta sosiolog. Diantara pendapat para ahli, modal sosial yaitu komponen-komponen yang mendasarkan pada hubungan antar masyarakat, kemudian adanya rasa saling percaya, serta jaringan sosial tanpa ikatan, juga kerja sama yang saling bahu membahu.
Hemat penulis, modal sosial itu terdiri dari suatu jaringan dalam masyarakat, yang tergabung dalam satu kelompok yang sama, tanpa paksaan sekalipun, dengan indeks kepercayaan yang tinggi. Selain itu, juga saling menggabungkan sumber dayanya masing-masing untuk menghasilkan sumber daya baru, baik fisik maupun non-fisik.
Bagi pandangan umum, mungkin lebih banyak mengenal tentang modal fisik, bukan modal sosial. Padahal sistem kerja modal sosial lebih besar dari itu. Sebab modal sosial sangatlah kompleks, serta luas sekali kajian fenomenanya. Sehingga baik ekonomi, sosial, politik, ilmu pemerintahan sekalipun akan ada bahasan yang menyinggung tentang modal sosial.
Unsur-unsur modal sosial terdiri dari nilai, norma, resiprositas (tukar-menukar kebaikan), jaringan, kepercayaan, serta partisipasi dalam masyarakat. Kita tidak bisa mendiskreditkan tentang modal sosial sebagai ilmu rendahan, karena tanpa modal sosial, belum tentu modal fisik terkonstruksi dengan baik, komunikasi politik pemerintahan, dan solidaritas masyarakat berjalan sukses.
Bahkan kerapkali pandangan umum hanya melihat elemen komunikasinya saja atas kesuksesan dalam suatu komunikasi personal & publik, komunikasi politik, komunikasi antar organisasi. Sementara indikator lain diabaikan, padahal jelas sekali bahwa modal sosial yang mengambil peran atas keberhasilan itu semua.
Urgensi modal sosial bagi ruang demokrasi
Di dalam negara demokrasi pun diperluhkan modal sosial. “Lho apa gunanya modal sosial dalam ruang demokrasi?” Jawabannya, bukankah indikator dari kesuksesan sistem demokrasi adalah dengan terbukanya kebebasan berpendapat, dan juga mengalir derasnya komunikasi politik antar pemerintah dengan masyarakatnya.
Modal sosial yang berjalan efektif pada sistem demokrasi adalah dengan terciptanya, rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi atau keluhan. Begitupun Pemerintah yang mampu menyediakan ekosistem bagi kebebasan mengutarakan pendapat, aspirasi, kritik dan saran konstruktif, serta mampu merespon itu semua dengan bijak.
Secara eksplisit, demokrasi memang membutuhkan kehadiran Trust atau kepercayaan antar warganya. Dalam konteks ini, yang dimaksud kepercayaan adalah dengan tidak saling membohongi, menyakiti, serta merugikan satu sama lain.
Rasa saling percaya memang memberikan rasa nyaman antar warga. Selain itu, apabila melihat sudut pandang demokrasi yang lebih luas maka, rasa percaya juga mampu meluluhkan hati masyarakat dalam memilih calon pemimpinnya di ruang kontestasi politik.
Hal ini banyak dimanfaatkan oleh calon politisi dan praktisi ketika hendak maju dalam pencalonan dan pemilihan pemimpin, baik ditingkat pusat, daerah dan desa sekalipun. Mengapa demikian, sebab dengan mengandalkan modal sosial tentunya akan mengurangi biaya-biaya transaksi untuk berkampanye, dan sebagainya.
Sebab seperti yang kita ketahui bersama, biaya politik dalam pencalonan pejabat pemerintahan itu memakan budget yang cukup fantastis. Apalagi jika harus melewati proses kontrak atau perjanjian legal yang membutuhkan kesepakatan pihak, diantaranya dari tim sukses, kelompok-kelompok pendukung, dan lain-lain.
Dengan adanya modal sosial, hal-hal tersebut mulai tergerus dan tergantikan dengan mengandalkan sistem Trust dalam membangun jaringan kelompok pendukung maupun tim sukses. Modal sosial hanya memerluhkan komunikasi, sosialisasi, partisipasi, kesepakatan non-formal yang sebenarnya hanya melibatkan kepribadian yang baik dan elegan.
Tujuannya apa, agar orang-orang disekitar tertarik untuk memilih, dan yakin bahwa sosok yang memiliki kepribadian yang baik ini mampu memimpin wilayahnya dengan sebenar-benarnya. Semakin tinggi tingkat kepercayaan warga, makan semakin efektif pula demokrasi akan berjalan. Sejatinya kesempatan membangun branding yang baik kelak akan berguna dalam kehidupan kedepannya.
Konsekuensi dari eksistensi modal sosial di ruang demokrasi
Terlepas dari itu semua, unsur lain dari modal sosial yang tidak kalah penting yakni, partisipasi dan interaksi antar masyarakat. Biasanya di dalam ruang-ruang perkumpulan masyarakat yang homogen akan melihat fenomena masyarakat yang saling berinteraksi satu sama lain, dan membicarakan hal-hal yang menjadi konsen mereka.
Dengan semakin tinggi indeks masyarakat dalam membangun organisasi atau perkumpulan, maka semakin baik demokrasi bekerja. Beberapa hal yang dapat dianalisis dari modal sosial dalam realitas masyarakat demokrasi adalah, kegiatan rutinan karang taruna, arisan, pengajian.
Terbentuknya kelompok yang sering bertemu akan menghasilkan kedekatan emosional maupun hubungan “kerja”, hingga akhirnya tanpa disadari modal sosial akan terbentuk dari partisipasi atau kehadiran anggotanya.
Akibatnya modal sosial yang besar akan mampu memberikan kontribusi yang lebih luas bagi demokrasi. Sebaliknya modal sosial yang kecil akan mempersulit jalannya demokrasi, seperti masyarakat yang memiliki indeks kepercayaan rendah akan mudah curiga, mudah tersulut emosi.
Konsekuensi dari adanya modal sosial adalah terciptanya negara dan masyarakat yang saling menjunjung kekerabatan, menghargai keberadaan jaringan, dan turut membentuk nilai dan norma pakem yang mampu menjadi standar bagi kehidupan sosial setiap masyarakat.
Artinya eksistensi modal sosial memang diperluhkan untuk ruang demokrasi, untuk menghilangkan persaingan tidak sehat, konflik identitas maupun kultural. Bagaimana hegemoni yang sehat dari modal sosial mampu mengendalikan masyarakat, dengan modal yang terbentuk akibat rutinitas yang sudah disepakati dan dijalankan bersama.
Juga tentunya modal sosial mampu memberikan kekuatan bagi ikatan sosial, yang menyebabkan solidaritas masyarakat tidak sebatas solidaritas formal, dan terikat kontrak. Namun solidaritas tersebut berdasarkan “kesadaran”, dimana anggotanya sadar bahwa partisipasi setiap anggota itu penting, sadar menjadi bagian dari jaringan, serta sadar untuk saling tukar menukar kebaikan. (*)
*Penulis adalah mahasiswa Sosiologi, FISIP UIN Walisongo angkatan 2018, yang sempat menempuh pendidikan di Sekolah Kedinasan STTT Bandung. Pemuda kelahiran Bogor, tahun 1999 ini berdomisili di kota Bekasi, bersebelahan dengan Jakarta Timur. Mahasiswa ini memiliki kegemaran mendaki Gunung, Travelling, Membaca & Menulis, serta hobi berdiskusi baik formal maupun informal.