YOGYAKARTA – Penegakan akuntabilitas sosial di sektor mineral dan batu bara (minerba) mendesak untuk dilakukan. Hal tersebut mengemuka dalam diseminasi hasil temuan empiris mengenai implementasi tata kelola di sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba) yang diadakan Research Center for Politics and Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL, UGM bekerja sama dengan Publish What You Pay (PWYP) Indonesia.
Dalam diseminasi yang bertajuk “Mendorong Akuntabilitas Sosial Kolaboratif di Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara” pada Jumat, 28 Januari 2022 dipaparkan dua laporan yang berkaitan dengan tata kelola di sektor minerba. Pertama, laporan yang disusun oleh PolGov bekerja sama dengan PWYP yang berjudul “Mendorong Akuntabilitas Sosial di Sektor Ekstraktif melalui Multistakeholder Forum: Studi Kasus Studi Kasus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Timur.” Laporan ini merupakan hasil kerja sama antara PolGov, PWYP dan juga tiga mitra di tiga provinsi yakni Gerak Aceh, Pokja 30 Kaltim, dan LepMIL Sultra.
Kedua, hasil studi kerja sama antara PWYP dan juga IDEA Yogyakarta yang bertajuk “Dampak Pertambangan Bagi Perempuan: Studi Kasus Tambang Pasir Besi di Kulon Progo.”
“Kami berharap sejumlah temuan empiris yang diperoleh dari tiga daerah kaya sumber daya alam yakni Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara dan Aceh ini mampu membangun kesadaran bersama tentang pentingnya pengelolaan sektor sumber daya alam yang mengedepankan transparansi dan partisipasi publik pada setiap rantainya,” kata Kepala PolGov, Dr. Nanang Indra Kurniawan dalam keterangan tertulisnya.
Nanang menyampaikan ektor ekstraktif, khususnya minerba, masih memainkan peran penting bagi pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Laporan Extractive Induntries Transparency Initiative (EITI) 2016 misalnya menunjukkan bahwa 10 persen dari total pendapatan negara didapatkan dari sektor ini. Industri ekstraktif juga berperan besar dalam menyumbang total ekspor nasional sebesar 20 persen serta berkontribusi sekitar 7 persen dari total Gross Domestic Product (GDP). Dalam laporan kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2021, terlepas dari kenaikan harga komoditas minerba, realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor minerba mencapai Rp 75,5 triliun dari target sebesar Rp 39,1 triliun atau mengalami naikl lebih dari 90% dari target.
Namun demikian, lanjutnya, peran penting sektor minerba masih disertai dengan berbagai macam persoalan, khususnya terkait dengan tata kelolanya. Sektor ini masih identik dengan lemahnya transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Salah satunya, di dalam proses pemberian dan pelaksanaan izin tambang, koordinasi antar-lembaga, pengaduan masyarakat, pengelolaan pendapatan dari sumber daya mineral, serta penyusunan regulasi dan kebijakan.
Sejumlah pemangku kepentingan pun telah menyerukan pentingnya pemerintah dan perusahaan untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar akuntabilitas sosial di sektor ekstraktif. Proses ini tidak hanya dibutuhkan untuk menciptakan penerimaan dan legitimasi sosial atas kehadiran industri ekstraktif, namun juga menjamin bahwa aktivitas yang dilakukan memberi dampak ekonomi dan sosial secara luas ke masyarakat.
“Upaya menuju penguatan transparansi dan akuntabilitas ini tentu tidak mudah dan menghadapi beragam macam tantangan yang terkait dengan ketidaksinkronan regulasi, kapasitas kelembagaan di tingkat daerah, maupun rumitnya rantai prosedur di sektor ini,”jelasnya.
Akibatnya, kekayaan mineba yang dimiliki belum berhasil dimanfaatkan secara maksimal. Khususnya untuk peningkatan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan dan peningkatan taraf kehidupan masyarakat. Kondisi semacam tersebut menunjukkan bahwa komitmen dan perubahan regulasi tidak cukup namun juga membutuhkan keterlibatan dan pengawasan dari publik secara lebih kuat.
Melihat sejumlah persoalan tersebut, penegakan skema akuntabilitas sosial menjadi sangat mendesak untuk dilakukan. Pendekatan akuntabilitas sosial diharapkan mampu meminimalisir dan mengantisipasi resiko-resiko sosial dan ekologis yang muncul, termasuk dampak bagi terjadinya ketimpangan gender di sektor ini. Adapun, akuntabilitas sosial merupakan sebuah pendekatan untuk membangun praktik akuntabel dan mengacu pada keterlibatan masyarakat sipil, dalam hal ini masyarakat akar rumput dan atau organisasi masyarakat sipil yang berpartisipasi secara langsung atau tidak langsung dalam memastikan berlangsungnya akuntabilitas. Mekanisme ini diharapkan bisa meningkatan transparansi dan akses informasi kepada publik, peningkatan layanan penanganan keluhan, serta peningkatan pengawasan warga.
Nanang menambahkan dalam konteks sektor pertambangan minerba, pendekatan akuntabilitas sosial diharapkan dapat mendorong perbaikan tata kelola yang dapat menjamin hak-hak dasar masyarakat sekitar tambang terhadap akses informasi, sekaligus dapat berpartisipasi dalam penentuan keputusan yang berdampak langsung terhadap mereka. Model akuntabilias sosial juga diharapkan mampu membangun komunikasi bersama multistakeholders forum dan kelompok pemangku kepentingan lainnya. (pr/kt1)
Redaktur: Faisal