Oleh: Mochlasin Sofyan*
Pembicaraan yang masih menjadi tranding topic di koran, TV maupun media sosial adalah masalah logo halal yang baru. Membincang tentang logo halal sebenarnya berkaitan tentang dua hal, yaitu need (kebutuhan) dan taste (selera). Saya mencoba khuruj minal khilaf atau keluar dari perdebatan ini dan fokus pada aspek kebutuhan. Tentu saya sebagai orang yang belajar ekonomi marketing, punya pendapat dan catatan sendiri tentang logo itu. Hanya saja pada kesempatan ini, saya hendak menulis bahkan mengajak untuk berpikir tentang skala prioritas, yaitu urgensi logo halal bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Pentingnya logo atau label halal tidak sebatas untuk menciptakan dan mendorong syariah compliance (ketaatan Syariah) bagi umat Islam. Lebih jauh dari itu, merupakan ikhtiar mewujudkan potensi Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar menjadi pusat industri halal dunia.
BPJPH dan Kewenangan MUI
Logo halal yang menjadi perbincangan merupakan logo baru yang diterbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementrian Agama Republik Indonnesia. Logo atau label halal tersebut ditetetapkan oleh kepala BPJPH No.40/2022 dan berlaku secara efektif sejak 1 Maret 2022. Logo ini akan mengganti logo lama yang diterbitkan oleh MUI. Bagi pelaku usaha yang produk sudah tersertifikasi bisa menggunakannya maksimal sampai tahun 2026, atau lima tahun setelah diundangkannya PP No 39 Tahun 2021. Keberadaan BPJPH merupakan mandatori dan kosekuensi legal dari UU No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Dalam pasal 33 ditegaskan bahwa tujuan penyelenggaraan JPH terkait dua hal penting. Pertama, memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk. Kedua, meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Menurut pasal 10 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2014, tugas dan fungsi BPJPH meliputi: (1) layanan Sertifikasi Halal; (2) layanan Registrasi Sertifikat Halal Luar Negeri; (3) pendirian dan Layanan Lembaga Pemeriksa Halal; (4) sertifikasi Auditor Halal; (5) kerja sama dengan Kementerian/Lembaga, MUI, dan kerja sama internasional; (6) kerja sama dengan MUI meliputi: Sertifikasi Auditor Halal, Penetapan Kehalalan Produk dan Akreditasi LPH. Sementara Kewenangan BPJPH berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 dan dikuatkan dengan Pasal 4 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 meliputi (1) merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; (2) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH; (3) menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk; (4) melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri; (5) melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal; (6) melakukan akreditasi terhadap LPH; (7) melakukan registrasi Auditor Halal; (8) melakukan pengawasan terhadap JPH; (9) melakukan pembinaan Auditor Halal; dan (10) melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Sebelum terbitnya UU No 33 Tahun 2014, kewenangan menerbitkan Sertifikat Halal tersentral di LPPOM MUI Jakarta. Saat ini proses sertifikasi terbagi dalam tiga gugus tugas, yaitu BPJPH membidangi administrasi, MUI membidangi urusan syar’i dan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) berurusan dengan sainstifik. Keberadaan MUI dalam alur sertifikasi bukan hilang secara total, tetapi tidak lagi berada pada wilayah administrasi. Kewenangan MUI sebagai pemegang otoritas keagamaan (mufti), dijamin oleh UU sebagai penentu kehalalan suatu produk. Hal itu secara tegas diatur pada pasal 76 PP No 39 Tahun 2021 tentang pelaksanaan UU JPH. Disebutkan pula dalam pasal tersebut, bahwa penetapan kehalalan produk dilaksananakan oleh MUI dalam Sidang Fatwa Halal. Untuk mempercepat dan mempermudah pemohon, maka sidang dapat dilaksanan oleh MUI pusat, provinsi maupun MPU Aceh. Penerbitan sertifikat Halal oleh BPJPH, harus dilaksanakan paling lama satu hari sejak adanya keputusan penentapan kehalalan dari MUI. Jika mengacu UU No 33 Tahun 2014, sepertinya alur setifikasi halal menjadi lebih panjang, tetapi pihak pemohon sebenarnya mendapat kepastian dan transparansi karena proses itu telah diatur dalam UU. Untuk mempercepat proses, maka LPH harus diperbanyak karena saat ini baru ada tiga yaitu LPH LPPOM MUI, LPH Sucofindo dan LPH Surveyor Indonesia. Terdapat Sembilan LPH yang akan segera ditetapkan yaitu:. (1) Yayasan Pembina Masjid Salman ITB Bandung (2) Balai Pengembangan Produk dan Standardisasi Industri Pekanbaru Riau; (3) Dewan Pengurus Pusat Hidayatullah Jakarta (4) Kajian Halalan Thayyiban Muhammadiyah Jakarta (5) Balai Sertifikasi Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan (5) Universitas Hasanuddin Makassar (6) Yayasan Bersama Madani Kota Tangah Padang Sumatera Barat (7) Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur (9) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Keberadaan LPH merupakan peran dan partisipasi yang diberikan kepada publik seperti ormas, kampus maupun lembaga profesional.
Pusat Industri Halal Dunia
Industri halal adalah kegiatan ekonomi dengan memproses bahan mentah menjadi barang setengah maupun barang jadi serta kegiatan memberikan jasa tertentu berdasarkan prinsip muamalah Islam. Berdasarkan data yang dirilis oleh The State of Global Islamic Economy Report (2020/2021), menunjukan bahwa belanja konsumen muslim dunia mencapai pada tahun 2019 mencapai US$2,02 triliun. Belanja itu meliputi sektor halal food, halal finance, halal travel, halal modest fashion, halal media, halal recreation dan halal pharma and cosmetic. Berdasarkan data tersebut, tidak heran jika pengamat ekonomi berkesimpulan bahwa ekonomi syariah dan industri halal dianggap sebagai sumber mesin pertumbuhan ekonomi alternatif. Data ini menunjukkan bahwa negara-negara berpenduduk muslim sebagai pasar yang seksi dan menggiurkan. Para pelaku ekonomi dunia akan berlomba-lomba untuk dapat memasok produk-produk di halal market tersebut.
Selanjutnya laporan dari lembaga pemeringkat yang sama, menunjukkan bahwa tingkat konsumsi produk halal untuk halal food Indonesia pada tahun 2019 mencapai US$144 miliar, angka ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen terbesar dunia. Sementara sektor pariwisata ramah muslim (moeslim hospitality), Indonesia menduduki posisi ke-6 dunia dengan nilai konsumsi sebesar US$11,2 miliar. Sektor halal modest fashion (busana muslim), Indonesia menjadi konsumen ke-3 dunia dengan tingkat konsumsi sebesar 16 US$ miliar. Pada sektor halal pharma (farmasi halal), Indonesia menduduki rangking ke-6 dengan total pengeluaran US$5,4 miliar. Sementara untuk kosmetika halal Indonesia menduduki posisi ke-2 dengan total pengeluaran sebesar US$4 miliar. Menurut Menkeu RI, kontribusi industri halal terhadap perekonomi nasional terus mengalami peningkatan. Market share sektor halal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2016 sebesar 24,3% meningkat pada tahun 2020 menjadi sebesar 24,86% . Kondisi tersebut terus akan mengalami peningkatan, mengingat jumlah penduduk muslim Indonesia pada tahun 2021 mencapai 87,2% dari total populasi yang berarti setara dengan 236,53 juta jiwa (Kementerian Dalam Negeri, 2021).
Setali tiga uang, pemerintah terus memberi dukungan atas perkembangan industri halal dengan menetapkan daerah Serang, Sidoarjo, dan Bintan sebagai kawasan industri halal. Dukungan lainnya dari pemerintah terhadap pertumbuhan industri halal, berupa kebijakan sertifikasi halal. Untuk menciptakan ekosistem halal, diterbitkan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pada pasal 4 ditegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 Tahun 2021 tentang Tarif Layanan BPJPH, pemerintah mencanangkan pembebasan sertifikasi halal khususnya bagi UMKM. Dalam UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, sudah diatur oleh pemerintah mengenai perlindungan dan jaminan pangan halal di Indonesia. Regulasi itu dibuat untuk menciptakan efisiensi dan daya saing produk halal bagi UMKM khususnya.
Dengan sertifikat halal ini, perusahaan maupun UMKM akan mendapatkan hak label halal sehingga mendapatkan kepastian status produk. Label ini akan memudahkan akses pasar halal regional, nasional maupun global. Namun data dari LPPOM MUI sungguh sangat memperihatinkan, sampai tahun 2019 perusahaan besar maupun UMKM yang bersertifikat halal hanya berjumlah 69.577 perusahaan (www.halalmui.org). Sedangkan jumlah UMKM yang terdaftar di Kementrian Koperasi dan UKM (2019) sebanyak 65 juta. Dengan demikian, prosentase perusahaan besar dan UMKM yang bersertifikasi halal kurang dari 1% (https://smesco.go.id, 2021). Data ini menunjukkan bahwa, ekosistem halal di Indonesia belum seperti yang diharapkan untuk menjadi pusat halal global.
Harapan terhadap BPJPH
Tugas utama BPJPH adalah menyelenggarakan Jaminan Produk Halal (JPH) sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bagi seorang muslim, mengkonsumsi makanan halal merupakan kewajiban sekaligus hak asasi yang harus dilindungi. Dengan demikian, keberadaan BPJH merupakan representasi dari kehadiran negara dalam memberikan jaminan dan menjaga hak-hak konsumsi yang sesuai dengan ajaran Islam. Keberadaan BPJPH seperti halnya KUA, sebuah lembaga negara teknis yang memberikan jaminan legalitas suatu perkawinan. Keberadaan BPJPH di bawah kementrian Agama, menjadikannya lebih mudah untuk diaudit dan menerapkan Good Corporate Governance. Selama ini LPPOM MUI sebagai penerbit sertifikasi halal tunggal, seringkali dituding tidak transparan bahkan memperjualbelikan label halal. Pengalihan wewenang penerbitan label halal kepada BPJPH, secara tidak langsung menjaga muru’ah ulama yang tergabung dalam MUI.
Setelah resmi kewenangan sertifikasi halal berada pada BPJPH, maka lembaga ini harus mampu hadir di tengah kebutuhan mendesak secara profesional. Diharapkan BPJPH dalam melayani pemohon berdasarkan prinsip M2C2 (Mudah, Murah, Cepat dan Cermat). Mudah artinya segala persyaratan pengajuan transparan dan dapat diakses secara online. Murah artinya biaya yang dibayarkan terjangkau bagi pelaku usaha, karena hakekatnya sertifikasi ini adalah hak konsumen oleh karena itu menjadi kewajiban pemerintah. Cepat artinya waktu yang diperlukan untuk mengurus sertifikat tidak melebihi batas yang ditentukan UU, sehingga segera mendapatkan kepastian halal bagi produk yang diajukan. Status kehalalan merupakan prinsip ajaran agama, maka BPJPH harus bekerja cermat sehingga tidak keliru dalam pemberian sertifikat. Dengan prinsip M2C2 ini, maka antusiasme perusahaan besar dan UMKM diharapkan meningkat. Semakin banyak produk yang tersertifikasi, maka produk-produk tersebut akan memiliki daya saing di pasar halal global. Harapan Indonesia menjadi pusat industri halal dunia, rasanya tidak membutuhkan waktu lama. Wa fa wqa kulli dzil ‘ilm ‘alim. (*)
*Penulis adalah Dosen FEBI IAIN Salatiga, Ketua IAEI Kom. IAIN Salatiga, Praktisi Halal Industry