Oleh: J. Aulia Syah*
Bulan Suci Ramadhan adalah bulan yang selalu disambut dengan suka cita oleh seluruh ummat muslim di dunia termasuk saya. Terlebih Idul Fitri, hari teramat istimewa, dimana setelah berpuasa sebulan penuh, tibalah hari kemenangan. Kata ustadz ustaz di TV, semua yang menjalankan ibadah puasa secara paripurna, maka berpotensi kembali fitri (bersih dari dosa).
Bagi perantau, dibela-belain mudik. Hasil kerja setahun bisa habis buat lebaran di kampung. Satu sama lain saling maaf-memaafkan (meski kebayakan setelah lebaran ngulangin lagi). Meriah ramai dan pasti ada yang makan gulai.
Tapi realitas tidak bisa dipungkiri. Ramadhan dan idul fitri dari tahun ke tahun selalu ada saja yang menggaduhkan. Seperti kenaikan harga kebutuhan pokok yang seolah tradisi wajib menyambut ramadhan. Tahun ini yang harganya menanjak adalah Minyak Goreng (Migor) dan Bahan Bakar Minyak(BBM) jenis pertamax.
Sebenarnya alasannya masuk akal. Sebab memang prinsip ekonomi pasti berlaku. Dimana ada permintaan maka ada penawaran. Banyak yang membutuhkan, harga otomatis melonjak. Itu wajar.
Namun kenaikan harga kebutuhan pokok ini di sisi lain menjadi kontradiksi dengan ajaran para ustadz di TV atau YouTube. Ya, permintaan bahan pokok naik jelas enggak nyambung dengan puasa yang sejatinya menahan haus, lapar dan mengendalikan hawa nafsu. Lha ini kok malah kayak mau pesta pora aja. Bukannya jadi hemat malah jadi konsumtif.
So, gagalkah para ustadz itu menyadarkan ummat? Entahlah dan silakan berpendapat. Terserah. Ini negeri demokrasi guys. Tapi resiko tanggung sendiri ya!
Sikap “membagongkan” (membingungkan) juga diperlihatkan para yang punya kewenangan plus kekuasaan. Bahkan doi sempat ketok palu bikin Harga Eceran Tertinggi (HET) Migor. Jadi berapa? yang pasti jatuhnya tetap lebih mahal dari saat sebelum Ramadhan tiba. Meski HET akhirnya dianulir, tapi ketika tidak bisa menormalkan, bisa diartikan merestui produsen Migor jualan mahal. Tentu tidak salah ketika ada yang ngomel dan nuding penguasa itu kapitalistik, enggak peka dengan jeritan rakyat.
Tapi bagi para lovers tentu bakal bikin tangkisan dengan berucap sewot,
“Lho kan ada subsidi Migor, makanya up date dan postif thinking dong!”
Yoi, guys. Itu bener. Tapi subsidi-subsidian gitu selama ini bener-bener terkontrol kagak? Boleh dong belajar dari kemarenan.
Yang Itu lho Bansos. Ini bukan su’udzon. Ini soal fakta yang kemarenan dan musti dibuat pelajaran. Bahwa kita tidak boleh pesimis dan berpikir positif, oke aja. Saya setuju. Tapi berpikir antisipatif (catat: bukan negatif atau anti pati ya!) Apa ya keliru? Enggak dong.
Soal subsidi Migor itu agak gimana gitu, susah nyebutnya. Sebab mendata siapa penerimanya biar tepat sasaran, enggak mudah lho. Misal tukang atawa penjual gorengan. Itu sulit banget didata. Pasalnya tukang gorengan bukan pekerjaan yang ada lembaga profesi khususnya. Belum ada saya dengar Asosiasi atau Federasi Tukang Gorengan Indonesia (FETUK GO IN) yang punya data base anggotanya.
Hal-hal membagongkan tambah ruwet dengan tingkah “gokil” para pengamat, politikus, plus orang narsis yang ngomong polatak politik saban hari. Harga Migor dan BBM naik digoreng, diolah, diracik dan dikemas dalam bungkusan mengkritisi pemerintah. Lagu lama yang terinspirasi peristiwa legend Reformasi 98. Yes, tapi cuma menginspirasi doang. Kalau buat mengulang kayaknya susah.
Sayang kan skin care-nya luntur kena gas air mata ya adek-adek mahasiswa? Bukannya enggak percaya bahwa aksi mahasiswa adalah gerakan moral. Tapi senyatanya diera tik-tok dan IG ini, gerakan politik-tainment lebih bisa punya pengaruh ke rakyat. Aksi mahasiswa tak seviral retorika politikus yang cukup cuap-cuap di depan kamera sambil ngopi lalu diunggah di akun sosial medianya atau influencer bayararannya. Atur ekspresi, narasi dan intonasi, dah bisa memikat follower atau subscribernya yang jutaan.
Lucunya lagi nih, para aktivis intelektual kenamaan yang pada ketangkep. Gimana enggak lucu. Lha wong ada yang lebih galak dan terang terangan berani debat terbuka dengan orang istana. Bukan cuma itu, berani bener lho nyebut presiden dengan ungkapan merendahkan. Itu viral juga lho. Tidak pernah nampak dekat dengan lingkaran penguasa yang bisa dimaknai tanpa backing kuat. Tapi aman aman aja ya? Kok bisa tetap bebas nyiyirin penguasa? yang dikritik panik enggak? Hayo Mikir dong.
Gini deh ilustrasinya. Saya pernah dikasih tahu praktisi penangkap burung. Salah satu cara yang efektif adalah dengan Suara Burung Masteran dan burung pemikat.
Sekarang sudah banyak aplikasi masteran burung atau suara burung pemikat di YouTube. Letakkan saja ponsel Anda di dekat burung yang lepas, putar suara masteran atau suara pemikat dari burung betina.
Jangan lupa, siapkan pula peralatan lain, berupa semprotan air, tongkat, dan kandang kosong. Kalau cuma diberi suara masteran tanpa menggunakan peralatan lain, pasti burung akan sulit ditangkap.
Cara kerja yang mirip juga digunakan pada burung pemikat asli (bukan masteran). Taruh aja di sangkar, suruh ngoceh yang cakep biar memukau burung lain. Setelah pada berdatangan dan menirukan suaranya, nah baru ditangkepin.
Apa burung pemikat itu dibikin susah? Enggak lah, pasti difasilitasi dengan sangkar bagus, makanan khusus biar ngocehnya terdengar indah sehingga makin banyak burung pengoceh yang bisa diperangkap.
Jadi kalau misal ada yang berpikir, aktivis intelektual tokoh nasional yang konon progresif revolusioner itu gagal, karena ternyata masuk perangkap, ya monggo aja.
Andai misal ada yang berpikir jika Ramadhan dan Idul Fitri punya sisi lain menunjukkan betapa konsumtifnya rakyat, segitu kapitalistiknya penguasa dan oportunisnya para yang konon orang pintar, ya silakaj aja. Tapi siap-siap dibuly netizen ya!
Oh, iya. Yang saya maksud orang pintar bukan dukun lho. Itu termasuk sebagian aktivis intelektual yang tiada hari tanpa ngomong politik. Mereka kadang seolah anti Partai Politik, mengkritisi, tapi sering juga main ke gedung wakil rakyat. Entah bener-bener anti atau karena enggak dapat kesempatan, ogah mikir. Kalau politikus Parpol gimana cuy? Anda sudah paham pastinya. Enggak penting dikomen apalagi dibahas. Seperti apa watak mereka tak perlu diverbalkan.
Ingat No Hate speech! NKRI harga mati, persatuan dan kesatuan bangsa kudu dinomorsatukan. Merdeka!
_Sudut Nol KM Yogyakarta, 8 April 2022_
*Penulis adalah pembelajar di Forum Penulis Kata Mata Pena Jogja.