Oleh: M.Faisal*
Ribuan Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menggelar unjuk rasa di depan gedung DPR RI Jakarta, hari ini Senin (19/04/2022).
Mereka menuntut Pemerintah untuk menurunkan harga kebutuhan pokok, khususnya Minyak Goreng, membatalkan kenaikan PPN, menganulir kenaikan BBM (pertamax). Selian isu populis itu ada tuntutan yang justru kerap dijadikan “yel-yel” sepanjang aksi. Yaitu Tolak Penundaan Pemilu atau Tolak Presiden 3 Periode.
Namun diantara beragam tuntutan yang diserukan, ternyata yang populer di sosial media maupun media massa adalah “Tolak jabatan presiden 3 periode”.
Kalau isu kerakyatan seperti menyoal kenaikan harga sembako, kenaikan BBM, dan kenaikan Pajak jelas akan didukung rakyat 99,9%. Sebab segala kenaikan harga dan pajak jelas sangat memberatkan rakyat yang sudah tumbang ekonominya sejak pandemi.
Tapi kalau soal Tolak jabatan 3 periode ini yang agak tidak relevan dengan kepentingan rakyat. Kenapa? Karena itu baru wacana. Konstitusi belum dirubah. Kalangan Partai Politik dan para legislator di Senayan juga masih terbelah. Terlebih sehari sebelum mahasiswa tiba di Senayan, Presiden Jokowi sudah membuat pernyataan resmi bahwa dia sendiri juga menolak penundaan pemilu dan 3 periode jabatan Presiden. Ia menegaskan pemerintah tetap akan melaksanakan pemilu pada 14 Februari 2024 mendatang.
Artinya menolak wacana dengan aksi demonstrasi yang cukup besar dan masif di berbagai daerah, mungkin bisa dikatakan baru pertama kali dalam sejarah gerakan mahasiswa.
Kalau memang tidak percaya akan statemen Jokowi, kenapa tidak sekalian tuntut turunkan Jokowi? Takut ya? Kalau takut wajar. Kalau tak berani mending jangan coba-coba.
Tapi ada yang menarik dan heboh dari aksi mahasiswa hari ini. Bukan soal bakar-bakar ban atau bemtrok dengan aparat. Itu biasa. Tapi yang bikin geger justru Ade Armando, dosen Universitas Indonesia sekaligus aktivis sosial media yang dikeroyok dan dipukuli oknum mahasiswa. Ade bahkan nyaris ditelanjangi. Video pemukulan Ade Armando tersebut viral. Bahkan, itu lebih viral ketimbang materi tuntutan para demonstran.
Ini mengingatkan dengan momentum akbar sebelumnya, yaitu MotoGP di Mandalika. Yang viral justru aksi pawang hujannya. Mengutip kata-kata populer netizsn: “Mau ketawa takut dosa.”
Ada yang berspekulasi hadirnya Ade Armando dalam aksi tersebut memang by design supaya viral dan mengalihkan isu tuntutan mahasiswa yang populis. Sebab dia adalah aktivis sosial media (sosmed) yang tentu mencari viral atau bahkan trending. Tentu tudingan itu wajar. Sebab kehadiran Ade Armando untuk mendukung mahasiswa tolak wacana (catat: baru wacana) presiden 3 periode, menjadi sorotan publik. Tapi yang mesti dicatat tidak ada yang mengutip Ade Armando juga mendukung tuntutan turunkan harga-harga, tolak kenaikan harga BBM dan tarif pajak.
Ade Armando yang sudah populer dan bisa dikatakan influencer tentu menjadi pusat perhatian ketika ikut aksi mahasiswa. Apalagi kalau sampai berstatement mendukung atau bahkan bisa beorasi tolak jabatan presiden 3 periode, pasti bakal viral mengingat dia punya banyak follower. Sayangnya justru dia dianiaya. Meski dikatakan luka berat, tapi masih mampu bangkit dan jalan ke gedung DPR meski gontai sembari dipapah polisi. Tapi dengan dia babak belur dipukuli, justru lebih menjadi sorotan kamera media dan viral.
Bagi yang kontra aksi mahasiswa, atau minimal folowernya Ade Armando tentu bakal meradang. Apalagi banyak beredar setelahnya aparat yang kepalanya bocor terkena lemparan batu demonstran.
Tentu bakal gampang bagi mereka yang kontra mencap aksi mahasiswa itu Brutal.
Ingat ya, bukan anarkis. Brutal jelas jauh lebih parah dari Anarkis.
Kata anarkis (anarchist) berkelas kata nomina dan bermakna ‘penganjur (penganut) paham anarkisme’ atau ‘orang yang melakukan tindakan anarki’ (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Dari pengertian itu, anarkis bermakna ‘pelaku’ atau ‘orang yang melakukan’, dan tidak menyatakan ‘sifat anarki’.
Padahal, kalimat membutuhkan kata sifat untuk menjelaskan verba “bertindak”.
Coba kita lihat pengertian anarkistis. Dalam KBBI, anarkistis adalah ‘bersifat anarki’.
Adapun anarki adalah ‘hal tidak adanya pemerintahan, undang-undang, perarturan, dan ketertiban; kekacauan (dalam suatu negara)’.
Ketika anarkis adalah pelaku, anarkistis menyatakan bersifat anarki (tidak ada pemerintahan, kekacauan), yang dibutuhkan kalimat.
Sedangkan brutal adalah sama dengan kejam,
kurang ajar; tidak sopan; kasar, biadab (tentang perilaku).
Nah, dalam konteks menaikkan harga-harga dan pajak di tengah rakyat yang menderita akibat pandemi, juga bisa disebut anarkis. Sebab hukum dan pemerintahan Republik Indonesia muaranya adalah Pancasila. Semua nilai pancasila jelas sangat manusiawi, tidak menyengsarakan rakyat dan menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketika ada kebijakan yang menyengsarakan rakyat berarti sudah meniadakan esensi hukum dan pemerintahan sebagaimana yang dicetuskan para founding father Bangsa Indonesia.
Dalam konteks penganiayaan oknum mahasiswa yang menganiaya Ade Armando yang mau dukung aksi tolak jabatan presiden 3 periode, memang bisa dibilang brutal. Mau dukung malah digebukin, gitu kan?.
Jadi kalau sebagai masyarakat awam memandang, aksi mahasiswa sampai di ujung hanya akan mencuatkan isu politis bahwa yang ditolak cuma wacana. Itu bisa dianggap clear dan tuntutan terpenuhi. Sebab Jokowi menyatakan tidak akan menunda Pemilu 2024.
Selain itu, bakal muncul isu tambahan tentang pemukulan Ade Armando yang pasti bakal berbuntut panjang (minimal bikin heboh jagad sosmed). Bisa jadi oknum mahasiswa yang melakukan penganiayaan bakal ditangkap polisi nantinya.
Lalu apakah harga-harga ssmbako turun dan mudah didapat akan terwujud?Apakah juga nanti pemerintah akan membatalkan kenaikan BBM dan pajak? Ah entahlah.
Rakyat Indonesia yang jelas kebutuhan dan harapannya sama: bisa hidup sejahtera, aman dan damai.(*)
*Penulis adalah warga negara biasa, tinggal di Condongcatur, Depok, Sleman. Penggiat komunitas Kata Mata Pena Jogja.