Oleh : Firman Firdhousi*
TERDAPAT sebuah adagium yang berbunyi “nasib suatu bangsa bergantung pada kualitas generasi penerus para pemimpinnya” (Aristoteles). Penjelasan di atas menyiratkan sebuah pesan moral kepada kita bahwa persoalan kualitas kepemimpinan bangsa memiliki implikasi yang amat fundamental terhadap maju-mundur suatu bangsa karena ditangan seorang pemimpinlah nasib suatu bangsa ditentukan.
Dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan tercatat bahwa negara Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat secara politik telah mengalami pergantian kepemimpinan nasional sebanyak enam kali dimulai dari kepemimpinan presiden Sukarno sampai Susilo Bambang Yudhoyono hasil dari pemilihan umum langsung Pemilu 2004-2009/2009-2014.
Memang kenyataan bahwa rotasi kepemimpinan nasional yang terekam dalam lembaran sejarah pemilhan umun Indonesia dapat berjalan normal setiap lima tahunnya sehingga bangsa Indonesia mampu meregenerasi kepemimpinan nasional secara regular untuk keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan Indonesia dan sebagai konsekuensi logis dari bangsa yang menganut prinsip-prinsip demokrasi.
Namun, persoalan yang terjadi sampai hari ini adalah bangsa Indonesia belum menemukan bentuk ideal mengenai konsepsi kepemimpinan nasional yang pantas dan layak untuk menahkodai keberlangsungan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan efektifitas kepemimpinan hasil dari pemilihan umum yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali oleh bangsa Indonesia belum memberikan kontribusi yang nyata terhadap kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Dalam deskripsi perpolitikan Indonesia pada masa-masa reformasi 98 yang ditandai dengan berakhirnya rezim orde baru merupakan babak baru di mana bangsa Indonesia mengalami transformasi sosial besar-besaran dalam struktur kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, terutama perubahan pada struktur politik yang mana pada masa sebelumnya proses politik banyak terkooptasi oleh hegemoni kekuasaan rezim yang mengekang kebebasan dan kemerdekaan kedaulatan politik rakyat.
Di era reformasi hari ini, bangsa Indonesia dapat dikatakan setidaknya telah menemukan bentuk ideal pemerintahan modern yaitu pemerintahan demokrasi. Nilai-nilai demokrasi telah menjadi pondasi dasar dalam a rule of the game kehidupan berbangsa dan bernegara seperti adanya pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan rakyat dalam menentukan preferensi sosial dan politiknya serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Pembicaraan suksesi kepemimpinan nasional merupakan fenomena politik yang umumnya sangat disukai di Indonesia. Setiap lima tahun sekali bangsa Indonesia melaksanakan pemilihan umum baik pemilihan wakil rakyat (anggota DPR) maupun pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres). Suksesi atau rotasi kepemimpinan nasional adalah sebuah keharusan dalam sistem pemerintahan yang menganut faham demokrasi.
Secara prosedural, bangsa Indonesia telah mengalami perubahan yang mendasar dalam sistem dan struktur politiknya, di mana proses politik pada ranah pimpinan nasional mengalami pergantian setiap lima tahun sekali dan masa jabatan kepala negara dibatasi, apakah satu periode atau dua periode.
Proses suksesi adalah proses sunnatullah, proses yang serasi dengan hukum alam, sejalan dengan rasionalitas dan seiring dengan realitas perkembangan sosial dan politik bangsa Indonesia. Namun, suksesi yang terjadi di Indonesia hari ini, proses politik pada ranah pimpinan nasional tidak mengalami perkembangan yang berarti.
Pemaknaan suksesi politik setiap pemilihan umum di Indonesia hanya dipahami sebatas pergantian elite pimpinan, tanpa melihat jauh hasil dari proses rotasi kepemimpinan terhadap kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Apalagi proses politik di Indonesia masih sangat kurang memperdulikan terhadap kapabilitas, kapasitas dan kompetensi serta integritas setiap calon yang mendaulatkan diri menjadi kandidat politik dalam setiap kontestasi politik karena pertimbangan-pertimbangan yang diputuskan dalam proses rekrutmen kepemimpinan politik mengabaikan prinsip-prinsip meritokrasi seperti sukuisme, daerahisme, almamaterisme, koncoisme dan lain-lain. Ditambah lagi oleh lemahnya kinerja partai politik dalam memainkan fungsi dan peranannya dalam memberikan pendidikan kepemimpinan politik terhadap setiap kandidat politik sehinggaoutput yang dihasilkan tidak berbanding lurus dengan ekspektasi publik.
Melihat realitas konstelasi perpolitikan seperti ini setidaknya ada tiga hal yang mendasar dan penting untuk diperbaiki sebagai langkah awal dalam upaya dan usaha mewujudkan proses kontestasi politik yang qualified sehingga hasil dari setiap proses politik (pemilu) dapat menghasikan kepemimpnan politik yang sesuai dengan harapan publik: Pertama, memperketat proses seleksi dan menetapkan standarisasi kualifikasi minimal dan maksimal dari setiap kandidat (capres dan cawapres) yang ingin maju dalam bursa kontestasi pemilu, Kedua, merumuskan aturan main yang ketat dalam setiap tahapan proses kontestasi politik sehingga dapat menutup ruang gerak praktik politik uang dan tindakan-tindakan manipulatif yang lain, Ketiga, memeritokrasi aktor dan institusi kepartaian sehingga manajemen kekaderan dan kejuangan partai politik dapat berjalan sesuai dengan fungsi dan peranannya.
Apabila rumusan penentuan aturan main di atas dapat berjalan dengan baik dan benar, maka harapan mendapatkan kepemimpinan nasional yang berkualitas dapat tercapai dengan mudah, sehingga cita-cita luhur bangsa sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para founding fathers dapat segera terwujud.
*Penulis adalah Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Periode 2013-2015