Oleh: Anggawira* DALAM
Terkait dengan aspek perdagangan internasional, pemerintah justru banyak meliberalisasi pasar produk pertanian, padahal aturan WTO masih memberi kesempatan pemerintah untuk melindungi pasar domestik. Subsidi pertanian seperti subsidi input dikurangi sangat drastis oleh pemerintah, padahal negara-negara maju masih memberikan subsidi sampai 300 milliar US$ tiap tahunnya kepada sektor pertanian (The NewYork Times, 2 Desember 2002).
Dalam membangun suatu masyarakat yang dualistis dan sedang dalam proses transformasi, peran pengembangan kelembagaan menjadi semakin penting. Dalam sistem pasar bagi suatu perekonomian yang maju kelembagaan akan mengikuti pasar (demand driven), namun dalam perekonomian subsisten kelembagaan yang dapat menarik perubahan masyarakat (institutional driven ). Oleh karena itu, rentang persoalan kelembagaan ekonomi bagi masyarakat Indonesia menjadi cukup jauh dan variasinya cukup luas. Dalam keadaan demikian, tentu tidak akan ada suatu lembaga yang sesuai untuk mengatasi semua persoalan.
Persoalan kelembagaan di dalam perekonomian yang sedang berkembang pada akhirnya harus dilihat dari titik pandang apakah dalam kerangka secara makro atau sebenarnya sedang memahami keberpihakan untuk mengangkat derajad pelaku ekonomi rakyat dalam kontek kehidupan yang demokratis, di mana seharusnya mewakili sebagaian besar aspirasi masyarakat.
Selain ketidak-fair-an dalam hal subsidi input dansubsidi ekspor, hal lain yang sangat terasa pada lemahnya perlindungan petani kita adalah rendahnya penerapan tarif produk pertanian impor. Proteksi yang luar biasa pada sektor pertanian di negara-negara maju ditunjukan dengan perlindungan produk dalam negeri melalui penerapan tarif imporyang tinggi. Bahkan, di sejumlah negara eksportir beras, gula dan produk pertanian lainnya tarif impornya sangat tinggi. Untuk gula, Uni Eropa menerapkan 297 persen, Jepang 361 persen,sedangkan Indonesia hanya 30 persen.
Dimensi pertanian nasional mencakup aspek ketersediaan, distribusi, dan konsumsi serta keamanan pangan. Pada aspek ketersediaan pangan termasuk elemen produksi domestik, impor, ekspor,cadangan dan transfer pangan dari pihak atau negara lain. Adanya elemen ekspor-impor pada aspek ketersediaan pangan menunjukkan bahwa kinerja ketahanan pangan nasional tidak terlepas dari dinamika peran perdagangan.
Proteksi yang dilakukan negara maju terhadap sektor pertanian melalui kebijaksanaan harga (price support), bantuan langsung (direct payment), dan bantuan pasokan (supply management program)telah menyebabkan distorsi perdagangan hasil pertanian dunia. Distorsi terjadi seiring dengan meningkatnya hasil produksi pertanian dari negara-negara maju yang mengakibatkan penurunan harga dunia untuk produk pertanian. Meskipun harga produk pertanian yang rendah menolong negara pengimpor tetapi faktor rendahnya harga produk pertanian tersebut juga akan memukul negara-negara berstatus produsen netto.
Dalam perkembangannya hubungan saling ketergantungan tersebut membawa hasil yang berbeda. Negara industri semakin maju, sedangkan negara berkembang semakin tertinggal. Dalam perdagangan internasional, negara maju lebih beruntung daripada negara berkembang. Fenomena keuntungan yang bisa ke negara industri disoroti oleh Raul Prebisch yangtertuang dalam karyanya: The EconomicDevelopment of Latin America and Its Principal Problems pada tahun 1950.
Ketidakseimbangan perdagangan internasional antara negara maju dan negara berkembang, menurut Prebisch, lebih disebabkan oleh adanya penurunan nilaitukar komoditi pertanian terhadap barang-barang industri. Barang-barang industri lebih mahal dari barang pertanian, sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan negara-negara berkembang yang mengandalkan pertanian
Persoalan pertanian khususnya tanaman pangan tidak hanya berkait dengan konsumsi dan produksi tetapi juga soal daya dukung sektor pertanian yang komprehensif. Ada empat aspek yang menjadi prasyarat melaksanakan pembangunan pertanian, yaitu akses terhadap kepemilikan tanah, akses input dan proses produksi, akses terhadap pasar dan akses terhadap kebebasan(Samsul Bahri, 2004).
Darikeempat prasyarat tersebut, nampaknya yang belum dilaksanakan secara konsistenadalah membuka akses petani dalam kepemilikan tanah dan membuka ruang kebebasan untuk berorganisasi dan menentukan pilihan sendiri dalam berproduksi.Pemerintah hingga kini selalu menghindari kedua hal itu karena dianggap mempunyai resiko tinggi.
Kebijakan pemerintah lebih banyak difokuskan padaproduksi dan pasar. Konsep agribisnis saat ini merupakan konsep yang cocok untuk melihat permasalahan pertanian karena maju mundurnya pertanian semata-mata tidak hanya diakibatkan oleh permasalahan teknis produksi saja namun juga disebabkan oleh faktor di luar hal tersebut. Pada akhirnya, permasalahan kesejahteraan petani tidak hanya dipengaruhi oleh on-farmagribusiness tetapi juga oleh off-farm agribusiness. Beberapa masalah mendasar yang masih banyak dihadapi oleh petani dan sektor pertanian di Indonesia adalah masih lemahnya interlinkage antara penyedia input,pasar, industri pengolahan dan lembaga keuangan dengan para petani kita.Sebenarnya negara kita memiliki potensi pertanian dan sumber bahan baku yang luar biasa namun belum dikelola dengan efisien.
Komoditas perikanan,perkebunan, tanaman pangan dan hutan yang luar biasa belum dikelola secara profesional dan efisien untuk meningkatkan daya saing dan memberikan nilai tambah bagi petani yang terlibat di dalamnya.
Secara teori, liberalisasi akan menghasilkan manfaat bagi para pelaku perdagangan, dalam implementasinya terjadi ketimpangan dan perbedaan. Negara produsen pertanian Negara-Negara berkembang pada umumnya berada pada posisi yang dirugikan atau sedikit sekali memperoleh benefit perdagangan internasional komoditas pertanian.
Liberalisasi dapat mengakibatkan dampak buruk yang bisa mengancam pasar domestik dan kepentingan domestik lainnya menyangkut kesejahteraan petani produsen dan ketahanan pangan. Hal tersebut bisa terjadi karena perbedaan dalam kepemilikan sumber daya, penguasaan teknologi produksi, perkembangan ekonomi dan komitmen pemerintah untuk membela kepentingan sektor pertanian.
Kemampuan sektor pertanian dalam peningkatan produksi sangat bergantung pada kemampuannya dalam mengatasi kendala pengembangan yang dihadapi saat ini, yang mencakup keterbatasan pengembangan lahan beririgasi, teknologi varietas unggul, ketersediaan anggaran pembangunan, dan penyediaan sistem insentif untuk mendorong peningkatanproduksi dan pendapatan petani.
Kebijakan strategis yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah peningkatan investasi pemerintah dalam pengembangan infrastruktur utama seperti irigasi, penelitian dan pengembangan serta penyuluhan. Mendorong dan memfasilitasi keterlibatan swasta dalam pembangunan pertanian. Peningkatan insentif usaha tani (input, output,kapital) dalam spirit koreksi kegagalan pasar, dan memfasilitasiperkembangan agroindustri padat tenaga kerja di pedesaan. (*)
*Penulis Adalah KetuaBPP HIPMI, Kandidat Doktor Ilmu Manajemen Universitas Negeri Jakarta (UNJ)