Refleksi Hari Lingkungan Hudup: Benang Merah Antara Manusia, Kota, dan Lingkungan

KOTA adalah tempat pemusatan penduduk dengan berbagai kegiatan dan perilakunya yang khas. Dominasi kegiatan non-pertanian dan perilaku yang tidak terlalu ditentukan alam, menjadi salah satu cirinya dan inilah yang membedakannya dengan desa. Sedangkan, jumlah penduduk yang terkonsentrasi menjadi faktor pembeda satu kota dengan kota yang lain, sehingga ada klasifikasi kota seperti metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil.

Penduduk kota tumbuh lebih cepat daripada penduduk desa yang cenderung mengecil. Pertumbuhan penduduk ini jelas yang menjadi salah satu penyebab perubahan lingkungan kota. Perubahan lingkungan alami, penggunaan sumber daya alam yang lebih besar, peningkatan pencemaran udara, peningkatan limbah padat antara lain memang disebabkan oleh adanya pertumbuhan penduduk tersebut.

Namun harus diakui, bahwa pertumbuhan penduduk bukan merupan satu-satunya penyebab perubahan lingkungan. Perkembangan aktivitas ekonomi, sosial budaya dan peradaban menentukan perubahan dan kondisi lingkungan kota. Walaupun demikian, kecepatan pertumbuhan penduduk yang tidak dapat diikuti kemampuan memfasilitasinya menjadi penyebab munculnya masalah lingkungan.

Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang. Wujud tersebut, menurut apa yang dapat diamati dalam keadaan nyata dibentuk oleh proses alam dan juga oleh manusia. Rencana tata ruang sesungguhnya merupakan rencana pengelolaan lingkungan pula, tetapi proses penyusunannya, lingkup dan penggunaannya berbeda dengan rencana pengelolaan lingkungan seperti yang dimaksud dengan rencana pengelolaan lingkungan dalam AMDAL. Rencana tata ruang disusun dari makro ke mikro, dari umum serta luas menuju ke aspek yang khusus serta rinci, dan digunakan untuk mengarahkan kegiatan pembangunan dengan tetap memperhatikan daya dukung lingkungan dan manusianya.

Makin bertambahnya jumlah penduduk merupakan suatu keterikatan linier dengan padatnya penduduk dan padatnya bangunan untuk bermukim (bertempat tinggal). Proses pemadatan bangunan permukiman yang tidak terkendali sering kali mengakibatkan hilangnya ruang terbuka yang berada di dalam perkampungan penduduk. Ruang terbuka dapat digunakan sebagai tempat bertemunya warga secara rutin. Wajar jika selama ini terlihat adanya gejala penurunan keakraban antar warga karena tidak adanya kontak sosial yang dilakukan warga, barangkali hal itu wajar karena tidak didukung oleh keberadaan local meeting spot.

Tidak adanya ruang terbuku hijau lokal dalam daerah permukiman, telah mengakibatkan peningkatan suhu harian maupun tahunan dan secara akumulatif ternyata telah memicu munculnya urban heat island di beberapa bagian kota, khususnya kota megapolitan dan metropolitan. Pemadatan bangunan yang semakin massive pada akhirnya akan sampai pada titik kulminasi, dimana tidak terdapat lagi ruang terbuka publik yang dapat dimanfaatkan sebagai areal ruang terbuka. Kondisi ini menurut Yunus (2006) disebut sebagai death point/saturated point. Secara teoritis, pemadatan permukiman akan diikuti oleh penurunan kualitas fisik lingkungan, kemudian diikuti oleh penurunan tingkat kesehatan penduduk dan diikuti pula oleh penurunan produktivitas yang akhirnya diikuti penurunan kesejahteraan (makin miskin) yang berimbas pada penurunan kemampuan memperbaiki kondisi lingkungan, yang mengakibatkan permukiman semakin kumuh dan seterusnya sebagai suatu vicious circle of poverty di daerah permukiman kumuh(Yunus, 2006). Suatu lingkaran setan kemiskinan yang dipicu oleh degradasi lingkungan permukiman.

Akibat kepadatan dan dinamika penduduknya, ruang dan tanah di kota menjadi sebuah faktor yang pelik. Tata ruang dan pengelolaan tanah yang tidak tepat dapat menjadi sumber ketidakefisienan, pertikaian kepentingan, ketidakpuasan maupun kemerosotan kualitas dan daya dukung lingkungan. Hal ini akan menjadi semakin rumit lagi untuk kota dan perkotaan dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Penulis melihat pertanyaan yang paling sering muncul kepermukaan adalah di mana tanah itu diperoleh, bagaimana cara memperolehnya, dan bagaimana membangunnya menjadi tempat yang sesuai dan layak huni.

Tekanan kebutuhan tanah tersebut telah mulai dirasakan sejak sekarang yang terlihat dari makin meningkatnya upaya mengurug rawa, laut, merambah daerah peresapan yang kesemuanya mengancam keberlanjutan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan (Kuswartojo, 2010). Menghadapi tekanan pertumbuhan tersebut, penataan ruang dapat menjadi suatu langkah yang penting. Lebih lanjut, proses penguasaan dan konversi tanah harus mendapat perhatian lebih khusus. Aturan main tata ruang dan pengelolaan tanah tidak dapat diserahkan begitu saja pada mekanisme pasar, tanah harus dicegah menjadi mata niaga atau komoditas. Di samping karena kelangkaannya, mekanisme pasar cenderung menyisihkan kepentingan umum dan lapisan bawah (masyarakat berpenghasilan rendah).

Peraturan perundangan mengenai dasar penataan ruang dan pengelolaan tanah ini sesungguhnya telah ada. Jika diambil contoh, konsep kawasan siap bangun seperti yang telah diatur oleh undang-undang permukiman tampaknya telah mengantisipasi pembangunan permukiman skala besar seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun sayang sekali pada tahapan implementasi sering kali, tidak hanya peraturan tentang permukiman saja, undang-undang hanya menjadi kitab kusam belaka.

Selain itu, pertambahan penduduk berdampak sangat signifikan terhadap tingkat penggunaan air, yaitu sekitar enam kali lipa dari sebelumnya dan lebih dari satu per enam orang didunia tidak memiliki akses terhadap air minum (Filho, 2011). Lebih parah, kota-kota besar di Indonesia khususnya kota Megapolitan Jakarta telah mengalami penurunan kualitas air tanah yang semakin parah dan telah menimbulkan multiplier effects yakni permasalahan sosial dan ekonomi. Hingga saat ini air tanah merupakan sumber air yang cukup penting, namun masalahnya air tanah yang berada di kawasan padat permukiman sudah tidak dapat diandalkan karena sudah terkontaminasi oleh tinja akibat sistem sanitasi yang kurang baik dan juga oleh sisa limbah yang diproduksi oleh warga kota. Dewasa ini, penulis melihat bahwa kawasan padat tidak hanya terdapat di kota metropolitan dan kota besar, tetapi juga di kota sedang dan kota kecil. Jadi bisa dilihat bahwa kemungkinan besar pencemaran air tanah sudah menyebar secara luas. Penulis melihat bahwa seharusnya penataan ruang haruslah mempertimbangkan pemasokan air, karena kebutuhan air tidak dapat dipenuhi hanya dengan menggunakan sumber daya air tanah.

Menurut Kuswartojo (2010) pemikiran dan upaya yang telah dilakukan pada umumnya tertuju pada penyediaan air bagi keperluan rumah tangga secara sentral karena dianggap akan menjamin kualitas dan kuantitasnya. Karena itu sumber dan penyaluran air secara sentral inilah yang seharusnya mendapatkan perhatian yakni dukungan biaya dan kelembagaan yang serius. Harus diakui bahwa sistem penyediaan air secara sentral membutuhkan dana yang besar, karena itu hal ini tidak dapat diberikan secara cuma-cuma, bahkan ada kecenderungan makin lama pengguna harus membayar semakin tinggi. Kawasan permukiman yang padat dan miskin, yang hidup dari sirkuit ekonomi bawah sudah barang tentu mengalami kesulitan karena tidak mampu membayar ongkos pemasangan instalasi maupun harga airnya sendiri. Oleh karena spektrum permasalahan air yang cukup luas, penanganannya pun tidak bisa dilakukan secara parsial. Air tanah tentu tetap harus dikelola, lagi-lagi penanganan air tanah sangat berkaitan dengan tata kelola dan pelestarian lingkungan baik.

Di sisi lain, permasalahan persampahan sekali lagi merupakan keniscayaan dari kehidupan manusia, kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari sampah. Menurunnya kualitas lingkungan yang disebabkan oleh sampah terkait dengan adanya hubungan yang erat dan timbal balik antara jumlah penduduk, nilai dan perilaku masyarakat terhadap perwujudan sampah, organisasi pengelola sampah, serta sistem pengelolaan yang dilakukan. Permasalahan sampah apabila tidak dikelola dengan baik selain menyebabkan kota menjadi kotor dan kumuh juga dapat menyebabkan pendangkalan sungai yang akan berakibat timbulnya bencana banjir yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kualitas kesehatan pada masyarakat.

Pengelolaan sampah yang masih menggunakan paradigma lama (pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir) rasanya perlu dirubah. Hal ini diakibatkan karena permasalahan sampah yang semakin kompleks, terutama sulitnya mendapat tempat pembuangan akhir serta berkembangnya jumlah dan ragam sampah perkotaan. Penanganan sampah dengan paradigma baru perlu mengedepankan proses pengurangan dan pemanfaatan sampah (minimalisasi sampah). Minimalisasi sampah adalah upaya untuk mengurangi volume, konsentrasi, toksisitas, dan tingkat bahaya limbah yang berasal dari proses produksi dengan reduksi dari sumber dan/atau pemanfaatan limbah. Keuntungan dari metode antara lain adalah: mengurangi ketergantungan terhadap TPA (tempat pembuangan akhir), meningkatkan efisiensi pengolahan sampah perkotaan, dan terciptanya peluang usaha bagi masyarakat. Metode minimalisasi sampah mencakup tiga usaha dasar yang dikenal dengan 3R, yaitu reduce (pengurangan), reuse (memakai kembali), dan recycle (mendaur ulang). Sejauh ini upaya pemerintah untuk mendorong kota di Indonesia agar meningkatkan kemampuan untuk mengelola sampah sudah cukup baik dengan adanya sistem penghargaan seperti Adipura. Penulis juga melihat bahwa banyak kota di Indonesia yang telah mencanangkan semboyan kebersihan untuk meningkatkan kesadaran warga kota terkait dengan pentingnya pengelolaan sampah. Namun rasanya masih diperlukan upaya lebih lanjut agar pengelolaan sampah benar-benar dapat menjadi gerakan masyarakat. Semboyan kebersihan haruslah dijabarkan menjadi program yang dapat menumbuhkan gerakan pendaur ulangan dan pengelolaan sampah secara berkelanjutan dan tidak bersifat insidental saja.

Lingkungan hidup adalah istilah yang dapat mencangkup segala makhluk hidup dan tak hidup di alam yang ada di Bumi atau bagian dari Bumi. Kerusakan lingkungan hidup seringkali disebabkan oleh faktor alam dan manusia. Tetapi manusia merupakan aktor utama yang menyebabkan kerusakan. Menurut Pasal 1 UUPLH No. 23 Tahun 1997 pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terdapadu untuk meelstarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Jadi sudah tentu bahwapengelolaan lingkungan kota memang harus dilakukan bersama.

Dewasa ini sering dicanangkan bahwa kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat perlu dikembangkan dan ditingkatkan. Namun memang cara dan usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan kemitraan ketiga lembaga ini sering kali mengalami hambatan, khususnya di Indonesia. Namun penulis merasa bahwa hal ini bukan tidak mungkin dilakukan karena telah banyak beberapa kota di dunia yang berhasil melakukan strategi penanganan pengelolaan lingkungan, hal ini telah lama dilakukan dan bahkan berangkat dari kondisi yang paling buruk sekalipun seperti Kota Curitiba di Brazil yang telah mendapatkan predikat “The Most Innovatice City In The World” karena telah berhasil merubah wajah kota yang macet, banjir, dan kumuh menjadi kota yang bersih, sehat, dan nyaman bagi warganya. Jika pemerintah Indonesia memang serius untuk menangani permasalahan lingkungan dan menjadikan beberapa kasus kota di dunia menjadi best practicesbukan tidak mungkin kota di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan dan keluar dari vicious circle of poverty. Sebuah political will dan kepemimpinan yang kuat tentulah menjadi faktor penentu dalam revolusi perencanaan dan pembangunan wilayah di Indonesia. Barangkali dalam momentum pergantian rezim kepemimpinan di Indonesia, pemimpin yang terpilih dapat benar-benar memikirkan pentingnya tata kelola berkehidupan dari berbagai macam aspek, tentu dengan ciri khas ke-Indonesiaan-an, bukan malah menggadai kota di Indonesia hanya karena pemikiran dangkal apalagi investasi jangka pendek belaka. Semoga! (*)

Penulis: Harizul Akbar Naswar.

Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota UGM, Menko Internal Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM).

Daftar Referensi :

Arsyad, Sitanala dan Ernan Rustiadi (2008). Penyelematan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta, Yayasan Obor.
Doxiadis, C.A. (1968). Ekistics: An Introduction to the Science of Human Settelements. London: Hutchinson
Filho, Walter Leal (2011). Climate Change and the Sustainable Use of Water Resources. Hamburg, Springer.
Kuswartojo, Tjuk (2010).Mengusik Tata Penyelenggaraan Lingkungan Hidup dan Pemukiman, Bandung, Kelompok Keahlian Perurumahan Perkukiman, SAPPK, ITB.
Newman, Peter dan Isabella Jennings (2014). Kota Sebagai Ekosistem Yang Lestari. Banyumedia, Malang.
Yunus, Hadi Sabari (2006).Megapolitan: Konsep, Problematika dan Prospek, Yogyakarta., Pustaka Pelajar.
Yunus, Hadi Sabari (2005).Manajemen Kota Perspektif Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Powered by rasalogi.com