JAKARTA– Akhir-akhir ini, menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, berkembang banyak faham atau pandangan keagamaan yang memunculkan polemik.
Namun sesungguhnya perbedaan pandangan tersebut seharusnya tidak menjadikan masyarakat Indonesia saling membenci sehingga mengancam persatuan bangsa.
Hal itu disampaikan tokoh nasional salah satu pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) Sayuti Asyathri.
Dijelaskan Sayuti, salah satu watak yang paling menonjol dalam berbagai faham tersebut adalah watak faham agama yang materialistik. Suatu watak keagamaan yang memutuskan simbol agama dari pertanggungjawaban substansi, khususnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Memutuskan simbol dari makna, membuat agama kehilangan akuntablitas keadilan dan kasih sayang. Sebaliknya penekanan berlebihan pada makna atau substansi, sembari memutuskan hubungan dengan simbol, membuat agama kehilangan address untuk kembali atau sandaran referensi dalam proyek komprehensi dan akuntablitas sosilogis,” tutur mantan Presiden Partai Demokrasi Kebangsaan (PDK) kepada jogjakartanews.com di Jakarta, Selasa (08/07/2014) petang.
Masih menurut Sayuti, pemutusan hubungan makna dangan simbol membuat agama berkembang liberal dan liar, sehingga kehilangan rujukan untuk sandaran dan ‘jalan pulang’. Watak agama yang gagal mempertanggungjawabkan relasi simbol dan makna adalah jenis agama yang materlialistik.
“Adapun soal materialisme agama, suatu soal yang sudah ada sejak sejarah awal manusia,” ungkap mantan Wakil ketua Komisi II DPR RI 2004-2009 ini.
Lebih lanjut dikatakan Sayuti, kelompok lain juga punya sejarah yang panjang, sepanjang sejarah materialisme dan spiritualitas. Karena Islam adalah agama universal kosmologis, maka semua bagian manusia dan kemanusiaan sejatinya berada dalam naungan denyut dakwah dan kehadiran Islam.
“Maka Islam yang bicara tentang inklusivisme juga harus menempatkan semua elemen paham dalam kehidupan sebagai bagian dari payung inklusivisme,” tandasnya.
Bila salah satu menolak dan memutuskan bagian lain dengan sikap permusuhan, imbuh Sayuti, maka itulah pijakan untuk lahirnya perpecahan dan kalahnya perjuangan kemanusiaan.
“Biarkan saja masing masing dengan agenda keyakinannya bersaing untuk mengembangkan keyakinan dan kelompoknya, yang terpenting adalah ketika tiba di altar kepentingan publik maka yang jadi ukuran adalah kepentingan rakyat, kepentingan nasional, kedaulatan, keadilaan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia” pungkas Alumni Lemhannas KSA X, 2002 ini. (now)
Redaktur: Rudi F