YOGYAKARTA – Salah satu Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) di awal menjabat adalah segera menyelesaikan konflik antar anak bangsa yang bersumber dari Agama, diantaranya yang menimpa penganut Syiah dan Ahmadiyah yang kehilangan tempat tinggalnya.
Setidaknya terdapat sekitar 200 penganut Syiah Sampang, Madura yang masih diungsikan di Rusunawa Sidoarjo sejak tahun 2012 hingga sekarang. Selain itu terdapat 100 penganut Ahmadiyah di NTB yang tinggal di Wisma Barito, Mataram sejak tahun 2006 silam.
Terkait hal itu, Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gajah Mada (UGM) meminta pemerintahan Jokowi-JK segera mengembalikan mereka ke kampung halamannya.
Menurut dosen sekaligus peneliti CRCS UGM, Mohammad Iqbal Ahnaf, pemulangan dan rekonsiliasi terhadap kedua komunitas tersebut juga tidak boleh disertai dengan upaya mengubah keyakinan mereka.
“Seperti pernah diupayakan pemerintah melalui Kemenag, karena keyakinan berada di luar urusan pemerintah,” ungkapnya dalam keterangan pers di Ruang Fortakgama UGM, Senin (20/10/2014).
Dikatakan Iqbal, langkah mengembalikan pengungsi Ahmadiyah di Mataram bukanlah hal yang mudah. Sebab, kata dia, mereka telah meninggalkan kampung halaman lebih dari delapan tahun sehingga ikatan dengan kampungnya sudah memudar.
“Berbeda dengan pengungsi Syiah Sampang yang belum lama tinggal di pengungsian menjadikan ikatan terhadap kampung halamannya masih sangat kuat. Bahkan pernah ada inisiatif rekonsiliasi akar rumput yang bisa menjadi modal kuat rekonsiliasi,” katanya.
Iqbal menjelaskan, pemenuhan hak-hak dasar para pengungsi seperti mendapatkan tempat tinggal, pendidikan, serta kesehatan yang layak, perlu diupayakan pemerintah selama masih tinggal di tempat penampungan.
“Selama ini hak-hak dasar pengungsi dari kedua kelompok tersebut belum dipenuhi dengan selakyaknya. Kalau pemerintahan baru nantinya bisa berhasil menangani persoalan ini merupakan suatu capaian yang cukup bagus. Hal ini penting untuk pengelolaan keberagaman agama di Indonesia,” ujarnya.
Sementara untuk meminimalisir potensi konflik terkait penodaan agama dan sengketa rumah ibadah, menurutnya perlu dilakukan kajian ulang terhadap UU PPA tahun 1965 tentang penodaan agama dan Peraturan Bersama Menteri (PBM) yang diantaranya mengatur pendirian rumah ibadah.
“Untuk sementara UU PPA masih berlaku penggunaannya sebaiknya diminimalisir, namun lebih baik lagi jika dilakukan revisi atau mengganti dengan UU yang dapat menjamin agar tuduhan penodaan tidak menjadi alat provokasi untuk menebar kebencian dan menghasut kekerasan terutama pada kelompok-kelompok rentan,”jelasnya.
Upaya lain, lanjutnya, bisa dilakukan dengan memaksimalkan fungsi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai lembaga yang memediasi konflik keagamaan. Hingga saat ini telah terbentuk lebih dari 500 FKUB di kabupaten/kota di wilayah Indonesia. Hanya saja, belum menunjukkan kualitas yang seragam.
“Di beberapa tempat FKUB bisa berfungsi secara efektif, namun di lain tempat justru menjadi sumber masalah. Karenanya penting untuk meningkatkan kapasitas anggota FKUB dalam pengelolaan keragaman dan melakukan rekrutmen dengan memperhatikan unsur kemampuan dalam mengembangkan hubungan baik antar kelompok dan menangani persoalan,” Pungkasnya. (ian/kontributor/ugm)
Redaktur: Rudi F