YOGYAKARTA – Penanganan penyakit Kanker di Indonesia belum memaksimalkan potensi sumber daya kedokteran dalam negeri. Pengobatan pasien kanker masih menggunakan obat impor sementara obat-obat tersebut belum tentu sesuai dengan genetik orang Indonesia.
Hal itu dikatakan peneliti penyakit kanker dari Fakultas Kedokteran UGM Prof.Dr.dr. Sofia Mubarika usai mengisi simposium Genomic and Beyond di FK UGM, Kamis (06/11/2014).
Menurutnya pemerintah sebaiknya segera merekomendasikan alat deteksi dan obat-obat yang sesuai dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan peneliti Indonesia.
“Deteksi kanker sebenarnya sudah berkembang bahkan termasuk cara penanganan dan pengobtannya, masalahnya apakah anggota DPR dan Pemerintah itu tahu, tugas kita sebagai peneliti untuk menyampaikannya ke mereka,” katanya sebagaimana dikutip dalam rilis resmi UGM.
Selain itu Mubarika juga menyayangkan pemerintah yang kurang optimal dalam membantu penderita kanker. Sebab, kata dia, belum semua pasien yang terkena penyakit kanker dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional atau BPJS. Padahal, kata Mubarika, pasien penderita kanker membutuhkan penanganan secara serius dan tuntas serta membutuhkan biaya pengobatan yang tidak sedikit.
“Dikhawatirkan penderita kanker akan semakin bertambah seiring perubahan pola gaya hidup masyarakat, infeksi, serta faktor gen, jika tidak mendapatkan penanganan serius. Tidak semua deteksi dan pengobatan penyakit molekuler ini dijamin oleh BPJS,” kata Mubarika.
Dalam kesempatan yang sama, Farmakolog UGM, Dr. dr. Indwiani Astuti, menilai penanganan dan pengobatan pasien penderita kanker memang seharusnya perlu dievaluasi karena tidak sesuai dengan konsep diagnosis molekuler yang tepat. Dia mencontohkan, beberapa model pengobatan dan deteksi dini penyakit kanker leukimia tidak memberikan efek kesembuhan bagi penderita.
“Alhasil banyak pasien yang kebetulan memilki banyak uang, memilih berobat ke luar negeri. Kesannya selama ini, para penderita kanker selalu diberi kemoterapi, sehingga tidak ada efeknya,” katanya.
Indwiani juga menyoroti cara pengobatan penyakit tuberkulosis (TB) yang menggunakan strategi Directly Observed Treatment Success Rate (DOTS), menurutnya belum sepenuhnya efektif,
“Orang Indonesia memiliki ragam etnik sehingga memiliki komposisi dan variasi genom, seharusnya dosis obat sesuai dengan genetik masing-masing tidak bisa disamaratakan,” katanya.
Hal senada dikatakan Vice President Universite de Poiters, Perancis, Gerar Mauco, yang juga menjadi nara sumber dalam acara simposium Genomic and Beyond. Ia sependapat bahwa pengobatan penyakit molekuler sebaiknya sesuai dengan jenis dan sumber penyakit.
“ Lalu ditangani lewat analisis molekuler sehingga pengobatannya menjadi tepat dan menyembuhkan. Unsur genom merupakan salah satu diantaranya,” pungkasnya. (pr/ugm)
Redaktur: Rudi F